Peradabaan tumbuh begitu juga ilmu pengetahuan yang makin lama terlihat makin spesifik saja. Dulu kita mengenal sastra, sekarang kita mengenal sastra islami, atau sastra XXX, dan banyak lagi. Dulu kita hanya mengenal berita dibawakan begitu rupa. Singkat, pada, jelas, aktuan dan faktual. Sekarang tak ayal pembawa beritanya pun ikut-ikutan beropini. Penonton yang tidak sadarkah, atau mereka yang mencoba menggurui apa yang kita terima?
Kenyataanya, kategori-kategori itu makin lama makin tipis bahkan bisa jadi tidak ada. Seyogianya kita mengkategorikan bentuk-bentuk kebudayaan ini menjadi sangat rigid dan, mungkinkah itu dilakukan atas nama eksistensi atau, tak lebih dari akal manusia yang tak ada habisnya? Sebut sebuah novel Laskar Pelangi. Orang awam hanya mengetahui bahwa itu adalah novel, sebuah karya sastra. Tapi jika harus dikategorikan, apakah kategorinya? Sastra umumkah, atau mungkin sastra anak? Percis Harry Poter bahkan The Hobbit-nya J.R.R Tolkien. Kita menganggap kedua karya itu adalah sastra umum (untuk tidak mengatakannya adult literature). Kenyataannya, di luar sana kedua karya sastra ini dikategorikan sebagai sastra anak. Nah! Ternyata manusia Indonesia sudah membaca buku anak-anak kalau begitu.
Pentingkah mengkategorikan semua bentuk kebudayaan manusia itu? Alih-alih membuat eksistensi atas pengkategorian itu, yang kita rasakan justru hal ini makin menghapuskan batas-batas antara yang satu yang lain. Sekarang, buku anak-anak sama saja dengan buku orang dewasa. Sekarang berita tidak jauh beda dengan gosip. Sekarang lagu orang dewasa sama saja dengan lagu anak-anak. Sekarang, sudah mulai turun gorden yang memisahkan segalanya. Semua mulai pupur, kembali ke zaman Firaun dimana manusia dan bintang tidak jauh beda. Keduanya hanya makhluk. Tuhan yang punya.