Pada
hakikatnya, jika tidak dipuji, maka seseorang akan memuji dirinya sendiri. Tapi
pujian ini tidak cukup pantas diterima oleh kampung itu, termasuk
orang-orangnya. Mereka ingat bagaimana sebuah desa mendapatkan pujian lewat
sebuah gelar “Desa Layak Anak” yang tertera dengan huruf besar di gapura
perbatasan. Alih-alih berpikiran bahwa penduduk desa itu memang kurang anak,
orang-orang justru beranggapan bahwa
orang tua-orang tuanya adalah manusia-manusia impoten.
Memang
sudah lebih dari dua puluh tahun ini pemerintah di kota S itu menyelenggarakan
program pemerian gelar atau “pujian” bagi kecamatan dan desa yang ada di kota
tersebut. Ada kecamatan yang punya gelar “Kecamatan Pesawahan”, “Kecamatan Pegunungan”,
dan banyak lagi. Tapi itu belum seberapa jika dibandingkan dengan gelar yang
dimiliki desa-desanya.
Ada
desa punya gelar “Desa Wajib Senyum”, “Desa
Pelarian” dan “Desa Kesiangan”. Yang terakhir disebutkan itu dikarenakan penduduknya
baru bangun jam delapan pagi ketika mereka memulai aktivitasnya. Barangkali
letaknya yang dikelilingi pegunungan membuat desa itu terlambat mendapat sinar
matahari. Maka dari itu pemerintah kota memberi gelar “Desa Kesiangan”.
Selebihnya, desa-desa lain dengan gelar yang lain pula yang tentunya
merepresentasikan keadaan sebenarnya dari desa itu sendiri.
Mendengar
pemerintah kota akan memberikan gelar lagi yang untuk entah ke berapa kalinya,
Karlan merasa perlu berbicara dengan ketua RT-nya, Warta.
“Seperti
yang Bapak dengar sendiri, bahwa tahun ini pemkot akan memberi gelar lagi untuk
beberapa desa dan kampung. Dan yang saya dengar, salah satu kampung itu adalah
kampung kita, Pak,” ucap Karlan serius. Matanya tajam menatap RT-nya yang
bersandar seraya mengembuskan asap rokok ke udara.
“Ya,
ya.. saya pikir itu bagus,” jawabnya mengangguk-angguk kepala.
“Bagus
bagaimana, Pak?” tubuh Karlan menegak; keningnya berkerut lebih dalam dari
biasanya.
“Ya,
bagus. Itu kan artinya kampung kita ini akan tambak dikenal, apa lagi kalau
sudah punya gelar. Kamu coba saja lihat, kampung-kampung di desa yang lain.
Dengan bergelar “Kampung Adat,” “Kampung Tani”, bahkan “Kampung Ikan”, membuat
kampung-kampung itu semakin terkenal. Orang-orang jadi penasran dan bahkan
menjadikan kampung itu sebagai tujuan wisata mereka.”
“Kalau
untuk masalah itu saya tidak khawatir, Pak. Kampung-kampung itu memang pantas
punya gelar itu karena masyarakatnya juga seperti gelarnya itu,” Karlan
gelagapan berkata-kata, “disebut “Kampung Adat” karena mereka masih memegang
adat istiadat yang masih dijaga dan dilestarikan; disebut “Kampung Tani” juga
masyarakatnya memang hampir semuanya bekerja sebagai petani, dan begitu juga
kampung-kampung lainya. Tapi kampung kita ini? Punya gelar apa coba, Pak?”
Karlan
terdiam sejenak. Sementara, Warta meraih cangkir kopi di atas meja seraya
pikirannya berusaha menangkap maksud perkataan lawan bicaranya.
“Disebut
“Kampung Tani” tidak mungkin karena sekalipun ada, petani di kampung ini hanya
segelintir saja. Pak RT tahu sendiri, hampir semua tanah yang ada kampung ini
semuanya sudah dimiliki oleh orang-orang luar, mulai dari orang Bandung sampai
orang Jakarta,” Karlan meraih kopi seolah ingin melancarkan tenggorokannya.
“Disebut
“Kampung Ikan” juga tidak, karena penduduk di sini tidak punya kolam ikan, dan
juga tidak beternak ikan. Apa lagi “Kampung Adat”, punya adat apa kita, Pak?”
Karlan menelan ludah; kata-kata selanjutnya seakan menjadi beban yang berat
untuk diucapkannya, “apa mesti kampung kita ini diberi gelar “Kampung Janda”
hanya karena hampir kebanyakan penduduknya adalah istri-istri yang ditinggal
oleh para suaminya?”
Tubuh
Warta seketika berbalik. Matanya dengan tajam menatap Karlan yang justru malah
tampak rileks bersandar di sofa setelah melemparkan pertanyaan itu.
“Kampung
Janda?” jari-jemari Warta bermain-main dengan janggutnya, setelah sebelumnya mematikan
putung rokoknya. Karlan mendongakkan kepalanya, mulutnya terjulur ke depan
mengembuskan asap rokok yang dihirupnya dalam-dalam.
“Bagaimana
bisa kampung kita punya gelar “Kampung Janda”, Lan?”
“Tidak
bisa bagaimana, Pak RT? Pemkot bisa-bisa saja memberi gelar itu sejauh mereka
tahu kalau kenyataan di lapangan memang sama dengan gelar yang mereka akan
berikan itu,” telunjuk Karlan yang mengempit rokok teraung-acung ke arah Pak
RT.
Seperti
telah menjadi watak Warta, ketua RT itu tak lantas setuju apa lagi menyimpulkan
permasalahan yang diangkat oleh warganya itu. Hanya saja, setelah pada akhirnya
Karlan pamit dari rumahnya, Warta memikirkan matang-matang kata-katanya itu.
Cukup
beralasan juga sebenarnya apa yang diungkapkan Karlan. Sejauh dirinya memimpin
kampungnya, memang hampir sebagian penduduknya berstatus janda. Dari 168 kepala
keluarga yang ada, sepertiga darinya adalah ibu-ibu tanpa kepala: suami.
Sebagian ada yang ditinggalkan karena faktor usia alias meninggal dunia,
sebagian lagi ada keluar kampung bekerja di luar kota dan tak kembali lagi.
Sebagian lagi, kebanyakan pasutri yang baru memiliki satu anak, cerai secara tidak
resmi.
Untuk
dua bulan terakhir ini saja, setidaknya ada lima keluarga yang kehilangan
suaminya. Keluarga Dudi, contohnya, ia meninggal dunia karena TBC di usia yang
masih muda, 38 tahun; dan meninggalkan istri dan anaknya yang baru berusia 10 tahun.
Belum lagi Imam; kepala keluarga yang satu ini berpisah dengan istrinya
gara-gara istrinya merasa kurang perhatian darinya. Lalu ada Asep yang
meninggal karena kecelakaan motor; kepalanya pecah dengan kedua bola mata yang
tak pernah bisa ditemukan. Dia meninggalkan seorang istri dengan dua orang
anaknya yang baru berusia dua dan lima tahun. Selebihnya, Ki Jundi dan Ki Ajun.
Keduanya meninggal dunia karena memang usianya sudah sangat lanjut.
Dengan
kenyataan ini, maka bertambah pula janda-janda yang ada desanya. Kebanyakan
penduduk kampungnya sekarang tak lebih dari ibu-ibu dan anak-anak berusia SD,
SMP dan sedikit SMA/SMK. Sisanya adalah pemuda-pemuda nanggung bau
kencur yang bingung dengan masa depannya sendiri. Mereka lebih suka nongkrong
di pinggir jalan ketimbang mencari kerja. “Jika sudah seperti ini, lalu aku
bisa apa?” kata Warta dalam batinnya.
Di
lain pihak, Karlan yang merasa bahwa predikat gelar itu tak ingin diterima oleh
kampungnya, justru mulai sering bertanya. Ia bertanya kepada Ni Juarsih,
seorang janda tua berusia 97 tahun, tentang sejarah kampungnya. Dengan
kata-kata terbata-bata Ni Juarsih bercerita pada Karlan.
“Dulu,
kampung ini, adanya di bawah sana,” Nu Juarsih mengacungkan tangannya ke arah
entah; Karlan memahaminya. Maksud Ni Juarsih adalah pesawahan di sebelah bawah
pemakaman yang tanahnya sudah menjadi milik orang Jakarta.
“Tapi,
orang-orang berbaju putih itu—maksudnya adalah demang—menyuruh nenek, dan yang
lain, pindah kemari. Mereka bilang, kalau tidak pindah,” Ni Juarsih menelan
ludah, “kampung bakal kena longsor. Warga kampung bisa terkubur hidup-hidup,”
begitu cerita Ni Juarsih, salah seorang nenek yang sudah sangat tua di antara
nenek-nenek lainnya.
Di
kesempatan lain, Karlan pun bertanya pada Ki Tardi. Berbeda dengan cerita Ni
Juarsih, Ki Tardi justru menceritakan tentang bagaimana kampung yang awalnya
berada di area pesawaan ini, sebenarnya didirikan oleh lima orang bromocorah.
Mereka adalah para begal yang dikejar-kejar tentara Belanda di masa penjajahan.
Hampir setiap hari para begal itu menghadang iring-iringan dari Kota Krawan ke
kota Pajajaran ataupun sebaliknya.
Mereka
mengambil barang-barang dan bahan-bahan makanan yang dibawa oleh iring-iringan
itu, termasuk koloni Belanda yang pada saat itu memang sedang memperlebar rute jalan.
Tanpa ampun, para begal menghadang kawanan Belanda yang menjelajah melewati
kampung itu dengan cara kekerasan. Tak sedikit darah tumpah oleh tangan para
pembegal itu.
“Menjelajah”
begitulah Ki Tadri menyebut koloni Belanda itu, dan bukan menjajah. “Kalau
tidak ada mereka, mana mungkin sekarang kita punya jalan aspal, kereta api
bahkan motor dan mobil. Merekalah yang telah memberikan itu semua!” begitu ucap
Ki Tardi kepada Karlan.
Lama-kelamaan
kampung ini pun hidup dengan penduduk yang makin bertambah. Empat orang begal
menjadi orang-orang biasa yang hidup dan bersatu dengan orang yang lainnya.
“Hanya
saja,” Ki Tardi terdiam sejenak; matanya menerawang, “setelah pertempuran
terakhir antara kaum pribumi dan Belanda di kampung Ciseupan sana, seorang
demang berkata bahwa penduduk kampung harus pindah ke tempat yang lebih tinggi,
yang dekat dengan jalan besar ini,” Ki Tardi menunjuk ke arah jalan raya di
seberang sana yang tak terlihat karena terhalang beberapa rumah.
“Waktu
itu, kebetulan tiga dari orang pendiri kampung ini sudah meninggal. Selebihnya,
Ki…” Ki Tardi menunduk seakan berusaha untuk mengingat nama yang akan
disebutkannya, “…Ki… Satya dan Ki…. Ki… ck,” Ki Tardi kecewa tak bisa
menyebutkan nama yang satunya lagi. Dia pun mengirup rokok tembakaunya dengan
sangat dalam. “Oh, ya, Ki Parta… ya, hanya dua orang itu saja yang masih
hidup,” Ki Tardi terbata-bata, lupa dengan apa yang sebenarnya akan
diucapkannya.
“Keduanya
bertengkar. Ki Satya merasa bahwa dia dan penduduk memang harus pindah dari
tempat itu menuju ke tempat yang lebih tinggi. Tapi, tidak dengan Ki Parta. Dia
menentang keras saran demang itu. Dia pikir bahwa penduduk harus tetap di
tempat itu. Jika tidak…” Ki Tardi menghentikan ucapannya.
“Jika
tidak, kenapa Ki?”
“Jika
tidak… warga kampung tidak akan bahagia,” begitulah Ki Tardi mengakhiri.
Kenyataannya,
warga kampung memilih untuk pindah ke tempat kampung ini berada sekarang.
Mereka takut jika mereka harus mati konyol gara-gara longsor akibat tanah
lembah yang curam. Begitu juga Ki Satya, tapi tidak Ki Parta. Dia memilih untuk
menyingkir lebih dalam ke tengah hutan dan hidup di sana. Pada saat itu, kedua
pendiri itu memang hidup sendiri tanpa istri.
Namun
sedikit yang Karlan tahu bahwa keduanya merupakan orang-orang sakti yang punya
ilmu kanurgan. Dan sedikit pula yang Karlan tahu bahwa pada suatu waktu, Ki
Parta telah membuat kutuk pastu karena pendapatnya tidak didengar oleh warga,
termasuk Ki Satya.
Beberapa
hari kemudian, di sore yang
temaram, suara terdengar dari kejauhan sebelum sampai ke telinga Warta.
“Pak RT, Pak Danang… meninggal dunia, Pak!”
ucap Toni terengah-engah. Pak RT yang sedari tadi sedang duduk santai dengan
Karlan mendadak pucat wajahnya.
“Innalillaahi wa
innaailaihi roojiuun,” ucap RT.
“Bertambah lagi janda di
jampung ini,” batin Karlan berkata.
“Jadi bagaimana Pak RT?”
Karlan bertanya.
“Bagaimana bagaimana?”
Warta bertanya balik.
“Apa harus kampung ini
punya gelar “Kampung Janda?”
“Ya, mau bagaimana lagi?”
Warta mengangkat bahunya sedang pikirannya membayangkan setumpuk uang yang
bakal diterima dari orang-orang pemkot untuk gelar yang bakal disematkannya
pada kampungnya itu.[]
Subang, 22 Juni 2014
No comments:
Post a Comment