"Perempuan Cikopi" Oleh FA |
Cerpen Fim Anugrah
“Mau hadiah apa, Pin, nanti buat lebaran?” begitu tanya Amah
suatu waktu pada Pipin, anaknya. Pertanyaan itu belum sempat dijawabnya. Karena
bahkan sebelum dijawab pun, hal itu justru malah membuat Pipin bingung sampai-sampai
seringkali ia bertanya pada dirinya sendiri: “Mau apa, ya, buat lebaran nanti?”
Sebenarnya cukup aneh juga jika pertanyaan seperti itu bisa keluar
dari mulut Amah. Dalam tengah kondisi keluarganya yang pas-pasan, terlebih
untuk membeli hadiah atau keperluan sampingan lainnya, membeli keperluan
sehari-hari pun ada kalanya minta ampun susahnya. Kondisi itu, betapa Pipin
telah menyadari dan memakluminya.
Namun yang lebih mengherankan tentunya adalah Pipin. Di usianya
yang kesepuluh, tak pernah ia mendapatkan atau meminta hadiah atau semacamnya. Setidaknya
itu yang Yadi, bapak Pipin, ajarkan padanya. “Kalau mengerjakan sesuatu,
kerjakanlah dengan ikhlas, tanpa mengharap imbalan. Gusti Allah itu Maha Adil. Kamu
pasti mendapatkan apa yang kamu butuhkan tanpa harus kamu memintanya,” ucap Yadi
suatu hari.
Maka, Pipin pun mengerjakan apa yang anak-anak sebayanya
kerjakan, yaitu berpuasa. Tentunya, keluarga Yadi adalah keluarga yang soleh. Mereka
melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bahkan Yadi dan Amah pun tak
sampai hati menyuruh Pipin untuk berpuasa jika Pipin memang belum siap. “Jika belum
kuat, boleh tidak puasa. Kalau kamu mau, setengah hari pun tidak apa-apa. Tapi
Gusti Allah sangat suka pada anak-anak yang full
puasanya. Ingat, yang penting niat yang lurus dan kerjakan dengan ikhlas,” pesan
Amah di awal bulan.
Dan ternyata, Pipin pun berpuasa. Bukan hanya full puasanya, tapi juga ia rajin ikut
dengan bapaknya solat tarawih berjamaah di mesjid yang letaknya tak jauh dari
rumah.
Selain sebagai ibu rumah tangga, sehari-hari Amah bekerja sebagai
pedagang keliling. Ia menawarkan gorengan dan tajil untuk berbuka. Dikunjunginya
rumah-rumah di lingkungannya, terkadang dimasukinya juga kompleks di perbatasan
desa tempat Amah tinggal. Beruntungnya Amah; cukup banyak juga keluarga di
kompleks itu yang memesan tajil partai besar padanya. Ada kalanya batin Amah
berkata: “bulan puasa memang bulan pembawa berkah.”
Sedang Yadi, ia berkerja sebagai penjaga toko material milik
Baba Ahong. Setiap hari Yadi datang dan bekerja di sana. Sempat Yadi bertanya
pada Baba: “Mengapa tidak ada hari libur, Ba?” Baba hanya menjawab dengan logat
Cinanya yang kental:” Jika libul, bagaimana Oe bisa sukses kalau begitu, Yadi?”
Mendengar jawaban itu Yadi hanya terangguk-angguk. Pikirnya, tidak aneh kalau
banyak orang Cina yang sukses, yang kaya. Dan, benar juga ternyata peribahasa ‘belajarlah
sampai ke negeri Cina’ itu. Karena menurut sepengetahuan dia, yang juga ia
dapat dari Baba Ahong, Cina itu negara maju. Boro-boro pensil, peniti yang
biasa digunakan untuk menyemat sarung milik istrinya saja dibuat oleh Cina. Made in Cina; merek itu, ada saja di mana-mana,
Yadi tersenyum.
Namun di tengah keharmonisan keluarga itu, ada saja cobaan yang diterimanya.
Dua tahun berlalu dan masih harus mereka rasakan. Bahkan Amah acapkali merasa
sangat sedih di setiap kali ia melihat cobaan itu, sampai-sampai menitikan air mata.
Yadi yang tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menabahkannya seraya berkata: “Yang
sabar. Pasti ada jalan keluarnya.”
Ya, dua tahun lalu entah kapan tepatnya, sebuah peristiwa
menimpa Pipin. Setiap kali Amah bertanya pada Pipin tentang bagaimana hal itu
terjadi, Pipin selalu menjawab bahwa itu terjadi ketika ia bermain bola, atau
ketika ia mengaji. Entahlah. Pipin memang selalu ragu setiap kali harus menjawab
pertanyaan Amah. Sempat suatu waktu dia berkata bahwa peristiwa itu terjadi
ketika mengaji. Pipin yakin itu. Pipin berkata bahwa dulu ada seorang senior yang
memukul pahanya dengan sebuah bambu yang dibuat sedemikian rupa. Bambu itu
digunakan untuk memukul anak-anak yang suka bercanda atau main-main di saat sedang
mengaji.
Pipin masih ingat bagaimana perstiwa itu terjadi. Saat itu Pipin
dan Ade, temannya, tengah menunggu
giliran tes hafalan surat-surat pendek. Satu persatu anak-anak dipanggil oleh
Ustad Aceng untuk dites hafalannya. Pipin yang saat itu tengah menghafal digodanya
oleh Ade, anak yang bisa dibilang selalu saja bercanda dan mencandai
teman-temannya, tak terkecuali Pipin. Sempat Pipin memarahinya agar tidak mengganggunya.
Tapi, setiap kali ia berkata demikian, perbuatan Ade malah makin menjadi.
Walhasil, Pipin mengejar Ade untuk mencubitnya, begitupun sebaliknya.
Tiba-tiba, ‘buk’, suara bambu bersarang di paha kiri Pipin. Dan
seketika itu juga Pipin mengerang kesakitan mendapatkan pukulan bambu dari seseorang
yang ia tahu ternyata kakaknya Ade. Apip namanya. Orangnya tinggi besar,
mengenakan kopiah rajutan di kepalanya sambil berkata: “Main saja! Bukannya
menghafal!” dengan marah yang tertahan sedang gigi-giginya terkatup dengan kuat.
Tak henti-hentinya Pipin menangis sambil terus berkata bahwa Ade-lah yang
bersalah. Tangisannya itu tak juga reda sampai pengajian selesai. Malah saking
sakitnya, beberapa senior harus menuntun Pipin sampai ke rumah.
Walau Pipin sudah teramat yakin dan menceritakan hal itu, tetap
saja Amah tidak percaya. Ia malah berkilah, “bagaimana bisa cuma karena pukulan,
kakimu jadi begini?” Tapi, apa mau dikata? Yang sudah, ya sudahlah. Pipin
sekarang harus mendapatkan akibat dari persitiwa itu. Ia yang dulu bisa berlari,
sekarang tak lagi. Ia harus mendapatkan kenyataan bahwa kakinya panjang sebelah
–kaki kanan yang lebih panjang dari kaki kirinya. Pipin sekarang adalah Pipin
yang pincang, yang harus selalu terseok-seok ketika harus berjalan.
Sempat suatu hari Amah mengajak Pipin ke Puskesmas dekat kantor kecamatan.
Dengan nada yang miris, ia bertanya kepada dokter apakah kaki Pipin bisa
disembuhkan. Dokter pun memberi saran agar Pipin dibawa saja ke rumah sakit,
dan karenanya ia akan membuat surat rujukan.
Tak lama setelah itu, Amah pun membawa Pipin ke rumah rakit.
Satu-satunya rumah sakit milik pemerintah di kota tempat mereka tinggal. Kaget
tak dinyana, dokter yang mendiagnosa Pipin berkata bahwa Pipin harus dioperasi.
Hal itu membuat dada Amah sesak, karena Amah pun dulu sempat merasakan
bagaimana rasanya dioperasi. Tidak sakit memang, hanya bekas jahitan yang
sampai hayat pun takkah pernah bisa hilang. Dan Amah tak ingin Pipin mendapatkan
hal serupa sebagaimana dirinya. Keputusan itu belum seberapa ketimbang apa yang
Amah dapatkan sesudahnya. Hal ini terkait dengan biaya yang harus dikeluarkan Amah
untuk operasi itu. Ketika Amah bertanya berapa biaya yang harus disediakan untuk
operasi, dokter menjawab: “sepuluh juta rupiah.” Sontak tubuh Amah makin lemah
saja, sementara Pipin kaget mendengar uang yang begitu banyaknya.
Amah pun pulang dengan tangan terkulai. Dadanya sesak. Raut
wajahnya muram, bahkan lebih muram dari biasanya. Pipin yang berjalan
terpincang-pincang hanya bisa menyaksikan kegetiran Amah dari matanya yang
penuh dengan air mata. Seraya berjalan di lorong rumah sakit, Pipin memegang
tangan Amah dan berkata: “Tidak apa-apa, Bu, tidak dioperasi juga. Pipin masih
bisa berjalan kok, malah sekarang
lari juga bisa,” begitu Pipin berkata untuk membesarkan hati Amah. Dan Amah
hanya bisa tersenyum. Senyum yang
tertahan di ujung pipinya.
Dua tahun berlalu dan kondisi Pipin masih seperti itu, malah seakan
telah menjadi sangat biasa. Walau begitu, Amah tidak akan lupa. Selalu saja, setiap
kali Amah melihat Pipin berjalan begitu rupa, kesedihannya muncul. Pun rasa
bersalah bergejolak di dadanya, karena tak bisa menyembuhkan luka Pipin. Tentunya
hal ini disebabkan rasa sayang Amah yang begitu besar pada Pipin, anak yang
baik, soleh dan dari hari ke hari tumbuh besar. Maka, laiknya orang tua yang
sayang pada anaknya, bagaimanapun, tak bisa hal itu benar-benar dilupakan. Takkan
pernah.
Terkadang Pipin juga diintai rasa bersalah jika Amah berbuat
seperti itu –memandang dalam-dalam Pipin yang sedang bermain. Hingga ketika Amah
tak lagi kuasa membendung kesedihannya, ia pergi ke kamar dan menangis di sana.
Pada saat itu, Yadilah yang turun tangan.
Di lain pihak, Pipin masih menyimpan pertanyaan Amah dalam
benaknya. Semakin ia pikirkan pertanyaan itu, semakin tak bisa ia mendapatkan
jawabannya. “Mau apa buat lebaran nanti?” batinnya. Pertanyaan itu dibawanya ke
mana-mana: ke sekolah, ke kamar mandi, ke tempat tidur, ke dalam permainannya. Karena
pertanyaan itu pula Pipin jadi sering terlihat melamun, duduk di teras rumah,
atau di halaman pada malam hari sambil memandang bulan purnama. Sementara itu, lebaran
makin dekat saja.
Suatu hari, beberapa hari sebelum lebaran dirayakan, Pipin pun
mendapatkan jawabannya. Ia bertekad mengungkapkan ini ketika nanti sore
berbuka. Awalnya ia ragu-ragu apakah harus diberitahukannya atau tidak. Tapi,
melihat teman-temannya yang sudah mendapatkan baju baru, tas sekolah baru, dan
banyak lagi yang lainnya, tak ada salahnya jika ia mencoba.
Beberapa menit sebelum berbuka, Pipin sudah duduk di meja makan
sekaligus meja tamu yang berada di ruang tengah rumah. Yadi yang sebelumnya mencari-cari
frekuensi radio dan menemukan progam ceramah menjelang magrib pun, akhirnya turut
serta. “Sebentar lagi buka,” katanya pada Pipin, “Bu, ayo sini duduk. Kita buka
bersama.” Tak lama kemudian suara azan pun terdengar, baik dari radio maupun
dari speaker di mesjid sana. “Alhamdulillah,”
ucap mereka bersamaan.
Ketika hendak memakan tajil, Amah terheran-heran melihat Pipin
yang masih diam tak bergerak di kursinya. Ia pun berkata, “Kenapa, Pin? Ayo
dimakan tajilnya. Sudah azan.” Pipin hanya menggumam saja seraya
menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Kenapa ini anak Bapak?
Ayo dimakan!?” tambah Yadi.
Pipin pun akhirnya memberanikan diri setelah sebelumnya mengangkat
kepala dan membusungkan dadanya.
“Bu, boleh tidak Pipin minta sesuatu buat lebaran nanti? “
“Oh, tentu saja. Ibu juga kan
sudah janji mau memberi Pipin hadiah buat lebaran nanti,” seraya mengambi nasi untuk
Yadi dan Pipin, “memangnya, mau apa hadianya?”
“Pipin mau... mmm….?”
“Mau apa?” sela ibunya.
“Pipin mau… kaki baru.”
Seketika itu Amah pun diam tak bergeming. Air matanya jatuh di
atas piring.[]
No comments:
Post a Comment