"Aku selalu percaya bahwa tiap orang punya tugas masing-masing. Tiap orang punya bakat dan kekuatan masing-masing, dan ada tempat baginya untuk menunjukkan semua itu sepenuhnya. Oleh karena itu, orang yang diberi bakat harus berusaha sebaik mungkin dan menunjukkan kekuatan terbaik yang dia miliki" (Kei Kurono: Gantz, 2011)
Tak ada yang lebih menarik dari seni ketimbang sifatnya yang acapkali prismatis dalam hal pemaknaan. Percis cahaya yang disorotkan ke sebuah batu berlian hingga cahaya menjalar ke berbagai penjuru arah. Dengan kata lain, pembacaan terhadap seni bisa dilakukan dengan cara apa pun, mulai dari yang mudah: menerima karya seni sebagaimana adanya tanpa tedeng aling-aling melainkan hiburan semata, sampai yang susah sekalipun: mencari pemaknaan lain dari apa yang tampak dari karya seni yang dihaturkan.
Hal yang disebutkan terakhir itu yang saya alami dan untuk pertama kalinya saya lakukan ketika tengah--dan bukan usai--menonton film Jepang berjudul Gantz (2011) besutan Shinsuke Sato.
Menonton film yang diadaptasi dari manga (baca: mangga) dengan judul yang sama karangan Hiroya Oku ini, saya merasa tidak tengah menonton film science-fiction. Lebih dari itu, saya menonton film dengan banyak simbol serta ada ideologi di dalamnya. (Tapi, bukankah kebanyakan film memang seperti itu? Alih-alih film dengan genre yang sama, film animasi seperti Wall-E (2008) Tangled (2010) bahkan sekaliber Frozen (2013) pun memiliki keduanya: simbol dan ideologi.)
Bola Hitam
Seperti halnya di film The Day The Earth Stood Still (2008), bola hitam dan besar pun direpresentasikan di dalam film ini. Lagi saya bertanya: Mengapa harus bola, besar dan hitam pula? Tak ada jawaban perihal ini sebagaimana tidak pula tokoh-tokohnya mempertanyakan apa bola itu. Sekalipun ada, jawabannya tak lebih dari memuasakan.Joichiro Nishi, lawan main Kei Kurono, hanya berkata bahwa bola itu bernama Gantz dan dia memberikan misi pada orang-orang yang "dipanggilnya" ke dalam "permainannya" agar siap sedia ketika alien menginvasi bumi. Informasi ini didapat ketika Kei, Katou, Keshimoto dan Nishi-Kun kembali setelah berhasil pada misi pertama membunuh Alien Bawang. Dengan kata lain, bola besat hitam bernama Gantz ini memang asing seasing misi yang diberikannya.
Yang menjadi menarik dari Gantz adalah, dia selalu memulai misinya itu dengan pemutaran terlebih dulu sebuah lagu dimana lagunya sendiri jauh dari kata modern. Sebuah lagu dengan lirik penuh buaian akan hidup dan kehidupan meski suaranya lebih mirip suara lagu yang mungkin sering kita terdengar di mulut radio.
Pagi yang baru telah tiba/Itu pagi harapan/Bukalah hatimu dengan kegembiraan/Lihatlah langit biru/ Dengarkan radio/Ambil nafas dalam-dalam/Dan rasakan aroma angin/Dan kemudian--satu-dua-tiga. Begitulah kira-kira liriknya. Setelah itu, apa yang terjadi? Gantz pun terbuka. Dan apa yang terdapat di dalamnya selain senjata dan baju cosplay (?)? Alien! Ya, alien yang bentuknya tak beda dengan manusia.
Awalnya, saya mengganggap bahwa bola hitam itu adalah representasi atau simbol dunia yang sudah diselimuti oleh kegelapan, oleh keasingan. Tapi manakala saya melihat ada manusia di dalamnya, saya menangkap bahwa simbol Gantz tak hanya itu. Dari lirik dan dari warnanya, Gantz ternyata juga simbol malam. Hal ini diperkuat dengan kalimat sambutan Gantz terhadap Kurono dan tokoh lainnya:
"Hidup kalian semuanya telah diambil. Bagaimana menggunakan hidup baru kalian sekarang terserah aku. Begitulah teorinya. Jika kalian ingin pulang, pergi dan bunuh orang ini. Namanya adalah...."
Kalimat analogi "Hidup hanya sekali sedang mati berkali-kali" atau puisi penyair Chairil Anwar "Sekali berarti sudah itu mati" mungkin berhubungan dengan apa yang Gantz ucapkan. Bukankah ketika kita tidur malam hari, pada hakikatnya kita sedang mati? Lebih luasnya lagi, dalam hidup kita lebih banyak mati--mati dalam hal hubungan kerabat dan pertemanan, cinta, pekerjaan, cinta-cita dan banyak lagi. Dan ketika kita bangun keesokan harinya setelah malam menidurkan kita, hidup dan kehidupan seakan meminta kita untuk mengulang semuanya. Akan hidupkah kita di satu hari atau justru mati lagi?
Maka, tak aneh kiranya lagu itu selalu diputar Gantz di awal misi. Lagu tentang bagaimana pagi yang baru telah tiba. Pagi yang penuh harapan. Ya, hanya harapan yang kita punya dan tak bisa direbut oleh apa dan siapa pun. Meski kenyataannya, seperti yang diucapkan Ellis Boyd Reding (Morgan Freeman) dalam The Shawshank Redemption (1994): "Same Old Shit Different Day." Hidup tak pernah benar-benar berbeda; ya, begini-begini aja. Rutintas dan rutinitas. Betapa hidup menjadi iklan yang sangat panjang.
Tapi hal ini tidak berlaku bagi Gantz. Kalimat selanjutnya justru terkesan kontradiktif sekontradiktif simbol dari Gantz itu sendiri. Bumi yang penuh dengan kegelapan, keburukan dan kejahatan dimana hidup manusia semua serba dipetakan dan diatur, Gantz justru menyuruh orang-orang yang diambil hidupnya itu untuk melakukan apa yang dia minta. Hidup manusia telah menjadi sangat asing, dan Gantz yang asing menyuruh Kurono dan lainnya untuk menghancurkan keasingan itu sendiri. Menghancurkan alien yang sebenarnya ada dalam diri setiap manusia.
"Bagaimana menggunakan hidup baru kalian sekarang terserah aku," ujar Gantz. Artinya, manusia menjalani hidupnya karena kehidupan meminta kita melakukan apa yang dia minta. Kita menonton film yang harus kita tonton. Kita mendengar lagu yang harus kita dengar. Kita membaca apa yang buku-buku harus kita baca. Kita melakukan semuanya karena hidup menuntut kita untuk melakukannya. Kita telah menjadi asing dengan melakukan begitu banyak hal yang umum. Percis karekter Kurono yang merepresentasikan simbol manusia masa kini tatkala dia mengabaikan untuk menolong Katou yang tengah menolong orang lain di rel kereta api. Manusia yang tak lagi peduli dengan sesamanya. Manusia yang membunuh meski tidak dengan senjata atau pisau di genggaman tangannya. Manusia yang menghilangkan derajat kemanusiaannya. Dengan kata lain, manusia tidak lagi milik dirinya sendiri. Manusia tidak lagi alami. Dia telah menjadi makhluk asing (alien) bagi dirinya sendiri. Di sinilah peran Gantz sesungguhnya muncul. Caranya dengan membunuh orang-orang (alien) yang diperintahkannya.
Alien Bawang
Setelah melihat Alien Bawang bersosok anak kecil dan sekaligus orang dewasa dimusnahkan, seketika saya berkata bahwa: ini adalah simbol makanan. Mengapa bawang dan bukannya tomat atau wortel? Sungguh, ini adalah pertanyaan yang menarik.
Sebagai salah satu tanaman sayuran, bawang adalah bumbu yang sangat enak juga memiliki aroma menyengat. Dia adalah penyedap rasa yang digunakan di hampir belahan dunia. Bagi orang Jepang, bawang, tepatnya daun bawang--biasa disebut negi--sering digunakan sebagai taburan di hampir setiap masakan seperti soba, udon, miso siru, ramen, dan lain-lain. Di Indonesia, negi ini mirip bawang goreng yang biasa digunakan untuk taburan pada soto, sop, sate, dan banyak lagi.
Dan memang, jangan berpikir jika Alien bawang di sini adalah bawang merah. Kita hampir takkan menemukan kepala alien itu seperti bawang merah melainkan seperti daun bawang. Perhatikan saja kepala alien itu.
Adapun simbol yang hendak direpresentasikan lewat Alien Bawang ini adalah, bahwa manusia telah menjadi sangat gila dengan makanan. Seumur hidupnya manusia telah menjadikan makanan sebagai konsumsi pokok, pemuas, bahkan simbol akan derajat kesejahteraan ekonomi. Memang, manusia yang hidup pasti membutuhkan makan. Tapi di film ini bukan itu yang dimaksud. Sebaliknya, di film berdurasi lebih dari dua jam ini, justru seakan memberi tahu bahwa hidup tak hanya soal makan. Ada yang lebih penting dari hanya sebatas makan, yakni peran manusia itu sendiri. Hal ini diungkapkan secara tersurat dari kalimat pertama yang diucapkan Kurono di awal adegan, sebagaimana terpampang di awal tulisan ini.
Dengan kata lain, makanan hanya alat agar manusia tetap bisa hidup dan menjalani kehidupannya. Bukannya menjadi alasan utama yang membuat orang-orang lantas dilanda euforia dan mabuk kuliner seperti tampak di zaman sekarang. Manusi makan untuk hidup, bukan sebaliknya. Inilah alien partama yang dijadikan misi Gantz terhadap para "pemainnya."
Alien Tanaka (Radio)
Euforia manusia juga tampak pada representasi Alien Tanaka yang menyukai kaset radio. Simbol teknologi, informasi sekaligus energi manusia. Manusia yang menjadi sangat tergantung pada gadget (gawai) dan bukan pada fungsi gawai itu sendiri. Tak salah memang memiliki gawai, tapi kembali pada kenyataan bahwa hidup dan kehidupan manusia tidak ditentukan oleh canggih tidaknya sebuah atau perkembangan gawai melainkan pada interkasi manusianya sendiri. Maka dari itu mengapa Gantz menyuruh Kurono dan kawan-kawan untuk menghancurkan alien ini.
Berbeda dengan Alien Bawang yang bisa dengan mudah dihancurkan, Alien Tanaka ini justru punya kekuatan yang lebih besar. Barangkali besarnya kekuatan ini sebanding pula dengan besarnya kekuatan manusia yang begitu-terama-sangat berkegantungan padanya. No Music No Dreams, begitu slogan ini terkenal di Jepang. Tanpa musik, manusia tak punya mimpi. Dengan musik, orang-orang justru bisa bermimpi sekalipun mimpinya itu adalah mimpi buruk seperti yang tampak pada film Detroit Metal City (2008).
Tapi di dalam misi kali ini, bukan musik atau harapan yang harus dihancurkan, akan tetapi kebisingan. Dan bukan pula kebisingan terhadap musik, tapi "kebisingan" terhadap gawai itu sendiri. Bayangkan apa yang terjadi sepuluh atau dua puluh tahun ke depan. Kiranya bukan hanya sampah rumah tangga yang kelak berjejalan di pinggir jalan untuk diangkut oleh mobil pengangkut sampah, tapi pemutar kaset/CD kita, komputer PC & laptop, TV LCD, dan bahkan Smartphone kita.
Alien Buddha
Sepertinya kecanduan manusia tidak hanya tampak pada makanan (Alien Bawang), teknologi (Alien Tanaka), tapi juga pada agama (Alien Buddha). Direpresentasikan sebagai alien yang (1) mudah marah, (2) besar, dan (3) menyukai tempat yang tenang, Alien Buddha adalah misi terakhir yang diberikan Gantz di film sekuel pertama ini.
Mendasarkan diri pada ciri ini saja, dengan mudah kita bisa menyimpulkan lewat beberapa pertanyaan: Bukankah permasalahan agama memang masih menjadi tema besar di muka bumi ini? Bukankah permasalahan terkait agama memang selalu menjadi isu yang senstitif bagi manusia? Dan, bukankah agama yang ada di dunia ini masih saja terpaku pada pakem dan tradisi alias agama budaya dan bukan budaya agama? Agama nenek moyang yang sekalipun nenek moyang salah, kita tak berani menggugatnya? Agama yang tenang dalam sepi dan jauh dari realita kehidupan manusia itu sendiri.
Terasa ekstrim sekiranya saya sampai berkata jika Gantz bermaksud agar Kei dan kawan-kawan harus menghancurkan agama. Terlebih aneh juga rasanya mengingat bagaimana Jepang sebagai negara yang sekuler, di mana orang-orangnya tak terlalu memikirkan agama di dalam kehidupannya sehari-hari--sekalipun mereka sangat menghormati orang yang beribadah apa pun agamanya--justru memasukan simbol ini sebagai salah satu dari misi Gantz.
Akan tetapi, melihat sikap dan mental orang Jepang yang semangat dalam menjalani hidup dan selalu mencoba bekerja lebih baik lagi; dan, dengan mempertimbangkan kata-kata Kurono di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa: setiap orang di muka bumi memang punya peran dan tugasnya masing-masing, dan karena itu dia dituntut untuk bisa mengerjakan tugas itu sebaik mungkin. Dengan kata lain, eksistensi manusia tidak hanya dilihat dari apa yang dimiliki saja, termasuk agama; melainkan dari kerja dan karya nyata.
Cukuplah agama menjadi hak masing-masing tiap orang. Setiap orang berhak memiliki dan meyakini agama juga menjalankan apa yang diyakininya itu tanpa harus adu tegang urat syaraf dengan mereka yang berbeda keyakinan. Lagi pula, orang Jepang memang tak melihat seseorang dari latar belakang agamanya. Apalah artinya beragama jika dia tak punya sopan santun dalam bersikap termasuk berbahasa. Tak peduli seberapa sering seseorang sembahyang, jika seseorang tak punya etika dan sopan santun berperilaku dan berbahasa, semua itu tak ada artinya di mata mereka. Dan mestinya, di mata manusia mana saja yang ada di muka bumi ini.
Pada akhirnya, semua keasingan lewat representasi simbol yang ada di dalam film Gantz ini telah lebih dari cukup untuk menghibur saya. Termasuk memprovokasi saya untuk kembali menulis dan mengenyahkan pikiran yang berkata bahwa hidup tak lagi indah dan menyenangkan karena apa yang terjadi di muka bumi telah menjadi sangat biasa, seperti yang saya yakini beberapa tahun terakhir. Kenyataannya, betapa banyak hal yang saya masih belum tahu dan ingin saya cari tahu.
Dan seperti Kurono yang pada akhirnya memutuskan apa yang harus diperbuatanya lewat kerja dan karya nyata sehingga kawan-kawannya termotivasi dan mengikuti jejaknya, maka saya pun berharap ada yang bisa dipetik dari apa yang saya lakukan ini, tak terkecuali menonton film ini, juga film-film "nyeleneh" Jepang yang ternyata tak senyeleneh pesan yang hendak disampaikannya. Tengok saja Dertoit Metal City (2008), Sunset on The Third Street (2005), Stranger Than Mine (2004), Fish Story (2009), Handsome Suit (2009), dan banyak lagi yang lainnya. Ja. Mata. (FA/"Saswaloka")