Saturday, December 10, 2011

Dhandhaka

Kau

Telah sampai rencana pada batasnya
Ketika kampung demi kampung kumasuki
Sekaligus kutinggalkan dalam bait-bait puisi
Akhirnya aku pulang menujumu

Entah seperti apa aku harus menyebutmu
Mungkinkah laut tempat kembali aku pada bunda
atau gunung tiang segala pancang para bapak
Bahkan cakrawala pun tak bisa menerjemahkanmu

Mungkin tak ada lagi kata mungkin
Di saat aku telah menerima semua
Seperti aku menerima waktu sebagai waktu
Rindu sebagai rindu aku sebagai aku

Dan kau
Telah kusebut dan terima apa adamu

Subang, Agustus 2011

Pertigaan, Suatu Pagi

Berjalan menuju gerbang, kabut mengendap di kacamataku
Dunia yang buram, pagi yang muram
Tanah-tanah penjelasan mengantar kabar hari
lewat anyir ikan asin dan busuk sayuran
Redu redam sebuah pertigaan dengan bahasa perniagaan
yang terdedah dari satu lubang
Atas nama hidup, apalah arti anyir dan kebusukan?
Ia menjaga kita untuk tetap mandi setelah malam menyisakan
simbah keringat karena mimpi yang tak terbeli
lantas bercermin seraya menyisir rambut rapi
Di pertigaan, kebusukan yang lain menunggu di balik pintu
Ia diam namun mengajarkan: tentang bagaimana kita mencuci
tangan setelah mengotorinya meski kebusukan
tak benar-benar pergi dan ayal selalu dipermainkan

Subang, Desember 2011

Jalan Menuju Surga

Ke Bukanagara, jalan panjang, lurus dan lengang
Pohan hitam berderet rapi di kiri-kanan
Hantu-hantu bergentayangan, tak ada cahaya
Tiba-tiba aku terkejut ketika Siamang berkata
sambil bergaya di sebuah cabang, “seribu kilometer
menuju tempat tujuan.” Batu-batu jalan berdiam
di kaki, bahu dan tenggorokanku. Ketika sampai
aku bertanya pada seorang bapak
Kemana jalan menuju surga. Ia berkata:
“Jalan menuju surga ada di urat lehermu
di antara batu-batu waktu yang seringkali kau lempar
padaku.”

Subang, Desember 2011

No comments:

Post a Comment