Judul di atas mungkin memunculkan beberapa pertanyaan. Apa
ada waktu terbaik untuk menulis? Jika ada, kapan? Tapi bukan tidak mungkin
judul itu pun hanyalah mitos belaka. Kenyataannya, orang bisa menulis kapan
saja, di mana saja, dan dalam kondisi apa pun.
Seorang pelajar bisa menulis materi
pelajaran di ruang kelas. Sekretaris bisa menulis selama dirinya bekerja di
kantor. Bahkan seorang kasir sebuah mini market pun bisa menulis selama dia
bekerja, entah siang, entah malam. Setiap orang bisa menulis tulisan yang
dibuatnya, kapan pun dia harus dan ingin menulis.
Mungkin
akan lebih baik jika kita spesifikasikan bentuk tulisannya. Bukan tulisan
sekadar tulisan atau corat-coret belaka seperti halnya daftar belanjaan. Akan
tetapi, tulisan bergenre sastra, baik itu puisi atau pun prosa.
Bukan
perkara yang mudah memang membuat tulisan genre ini. Sekalipun pernah juga menjadi
perdebatan tatkala seorang Arswendo Atmowiloto berkata bahwa “Mengarang Itu
Gampang”. Jika benar perkataan beliau ini, lalu kenapa juga orang
Indonesia masih saja susah untuk menulis/mengarang. Tapi setidaknya kita
belajar bahwa ternyata yang namanya gampang itu relatif, yang jelas tidak susah
kecuali malas.
Berkaca
dari pengalaman, Penyair Sapardi Djoko Damono punya waktu khusus untuk menulis.
Dalam testominya dia berkata bahwa dia acapkali menulis menjelang fajar,
mungkin sebelum waktu subuh, di ruang pribadinya yang kecil berkawankan
buku-buku di raknya. Pada saat inilah beliau biasa mencipta puisi dengan
tingkat kekhusyuan yang cukup tinggi. Baginya bisa jadi kesunyian menjadi
sangat penting di tengah hingar bingar kota yang hidup.
Belum lagi menyebut para prosais yang
kebanyakan memang lebih suka menulis di malam hari. Tidak hanya karena malam
itu magis, tapi juga pada saat seperti inilah keadaan sunyi dan tenang justru
menjadi kawan yang menguntungkan para penulis/pengarang. Ketika siang hari
waktu dipenuhi dengan berbagai macam kesibukan, pada malam harinya para penulis
akan masuk ke dalam ruang pribadinya, menyalakan komputernya sebagaimana dia
menyalakan pikirannya untuk mulai menulis.
Ada semacam paradigma yang muncul di
tahun 90-an dimana penulis, atau tepatnya penyair adalah sosok yang jauh dari
yang namanya bersosialisasi. Mereka lebih memilih untuk diam di “guanya”
bersama tulisannya. Hal ini bisa benar, bisa juga tidak. Tidak benar karena
bagaimanapun penulis juga manusia. Mereka butuh bersosiali sebagai medianya
untuk membaca sebelum pada akhinrya pembacaan itu berbentuk rangkaian
kata-kata. Benar karena pada kenyataannya, penulis memang butuh konsentrasi
tingkat dewa. Kesibukan di siang hari jelas tidak bisa membuat para penulis
leluasa untuk berpikir untuk menulis. Maka dari itu mengapa mereka butuh malam,
butuh ruang pribadi dan ketenangan.
Selain itu pula, membuat tulisan
bergenre sastra memang menuntut banyak faktor. Tentunya selain privacy
dan ruang. Para penulis yang memang butuh konsentrasi agar bisa fokus untuk
tulisannya, juga tubuh yang prima. Itu artinya kondisi pikiran dan tubuh pun
sedikit banyak memengaruhi tulisan yang dibuatnya. Sebuah penelitian
membuktikan bahwa pikiran akan lebih jernih dan tenang dan bisa bekerja lebih
baik apabila otak masih fresh. Artinya, otak belum benar-benar dipergunakan
untuk memikirkan soal pekerjaan, tugas, utang dan tetek bengek lainnya. Dan
keadaan itu bisa didapatkan manakala otak baru saja diaktifkan. Dengan kata
lain, tak lama setelah bangun tidur.
Pada saat-saat seperti inilah pikiran
memiliki potensi untuk bekerja dengan sangat baik. Otak bisa lebih fokus dan
pikiran bisa lebih konsen secara maksimal. Berbeda halnya ketika otak sudah
terlalau banyak digunakan untuk memikirkan banyak hal. Alih-alih bisa fokus dan
konsentrasi, tulisan yang diciptakan pun malah jauh dari sempurna. Urat-urat syaraf
di otak sudah tegang karena sudah banyak digunakan. Energi yang dimiliki otak
pun sudah kekurangan nutrisinya. Tak jauh beda dengan tubuh yang sudah lelah
bekerja tapi malah dipaksa untuk bekerja lagi. Sedang kita tahu kalau bekerja
dengan otak justru lebih melelahkan ketimbang fisik. Setidaknya ada satu hal
sama yakni, jika sudah lelah maka keduanya butuh istirahat.
Kembali ke judul tulisan di atas. Jadi,
tidak masalah kapan waktu yang paling baik untuk menulis. Setiap orang punya
kebiasaa, cara dan metodenya sendiri dalam hal menulis. Satu yang pasti,
tulisan yang baik tentulah harus didukung pula oleh kondisi pikiran dan tubuh
yang prima. Karena tanpanya tulisan yang dihasilkan tanpa syarat-syarat tadi
bukan tidak mungkin justru malah tak jelas arahnya. Kata-katanya, strukturnya,
amanat yang hendak disampaikannya, dan nya-nya yang lainnya. Demikian. [FA]