Oleh: Firman Nugraha
Salah seorang dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris UPI sempat berkata bahwa Perguruan Tinggi (PT) sungguhpun tidak memiliki kewajiban untuk melahirkan mahasiswanya menjadi sastrawan. Menjadi sastrawan seyogyainya merupakan pilihan mahasiswa sendiri dan PT tidak berhak serta tidak pula bertanggung jawab atas pilihan tersebut.
Sesaat saya termenung mendengar perkataan itu. Apa sebegitunya peranan PT sehingga tidak mampu melahirkan sastrawan-sastrawan jebolan akademisi? Yang teramat mengherankan justru pada pernyataan yang tampak sangat bersebrangan dengan kenyataannya; bukankah mahasiswa-mahasiswa dicetak agar ia dapat dengan siap menghadapi dunia –salah satunya dunia sastra—yang digelutinya selepas kelulusannya? Dan, bukankah persiapan ini pula yang menentukan bagaimana kemampuan dan keahliannya itu digenjot di (lingkungan) perkuliahan? Untuk ini saja kedua pertanyaan itu telah cukup untuk mematahkan argumen di awal; lalu untuk apa ada PT jika begitu?
Salah seorang dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris UPI sempat berkata bahwa Perguruan Tinggi (PT) sungguhpun tidak memiliki kewajiban untuk melahirkan mahasiswanya menjadi sastrawan. Menjadi sastrawan seyogyainya merupakan pilihan mahasiswa sendiri dan PT tidak berhak serta tidak pula bertanggung jawab atas pilihan tersebut.
Sesaat saya termenung mendengar perkataan itu. Apa sebegitunya peranan PT sehingga tidak mampu melahirkan sastrawan-sastrawan jebolan akademisi? Yang teramat mengherankan justru pada pernyataan yang tampak sangat bersebrangan dengan kenyataannya; bukankah mahasiswa-mahasiswa dicetak agar ia dapat dengan siap menghadapi dunia –salah satunya dunia sastra—yang digelutinya selepas kelulusannya? Dan, bukankah persiapan ini pula yang menentukan bagaimana kemampuan dan keahliannya itu digenjot di (lingkungan) perkuliahan? Untuk ini saja kedua pertanyaan itu telah cukup untuk mematahkan argumen di awal; lalu untuk apa ada PT jika begitu?
Barangkali ada benarnya juga bahwa menjadi seorang sastrawan merupakan pilihan mahasiswa. Mahasiswa memiliki haknya sendiri bakal menjadi apa dirinya nanti, apakah sesuai dengan kompetensi yang dimiliki serta latar belakang pendidikannya atau tidak. Mahasiswa yang “baik”, atau yang memang tidak punya pilihan lain, mungkin akan “lurus-lurus saja”: menjadi seorang pengajar karena latar belakangnya pendidikan dan tempat dia belajar adalah sebuah PT yang pada hakikatnya memang mencetak mahasiswanya menjadi pengajar. Mahasiswa yang lain mungkin akan memilih pekerjaan lain di dunia kerja yang lain pula.
Kendati demikian, fenomena memperlihatkan bahwa tak sedikit mahasiswa lulusan PT yang baik latar belakangnya pendidikan maupun yang tidak pada akhirnya menjadi pengajar-pengajar juga. Siapa yang harus disalahkan? Tentunya hal ini merupakan sebuah anomali yang terus terjadi dan telah kita anggap biasa. Kalaupun kita mau berpijak pada keyakinan, bukankah agama telah berkata bahwa jika sebuah urusan tidak diberikan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya? Kiranya kehancuran itu telah kita nikmati bersama-sama dari bagaimana bangsa ini diperintah dan diperlakukan, baik di tataran yang paling tinggi bahkan di yang paling rendah sekalipun, dan di berbagai macam lingkungan dunia kerja.
Lalu bagaimana dengan mahasiswa yang tidak “lurus-lurus saja”? Mahasiswa yang memilih untuk bekerja di dunia yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya yang, walau demikian, tidak berarti tidak memiliki kompetensi yang layak di bidang yang dipilihnya? Haruskah PT mengabaikan juga mahasiswa-mahasiswa yang demikian? Yang memiliki minat serta kemampuan di bidang lain itu? Yang bisa jadi, di dunia yang digelutinya, dia lebih mumpuni ketimbang latar belakang pendidikannya? Permasalahan inilah yang menjadi inti tulisan ini, sebagaimana yang telah dinyatakan di awal.
Bagaimanapun PT tidak bisa menutup mata terhadap kepentingan-kepentingan mahasiswa semacam ini. Kepentingan ini pula yang nantinya bakal menentukan hidup dan dunianya, yang dijalani, dihayati serta dimaknainya, semata untuk kemaslahatan umat. Mahasiswa-mahasiswa lulusan PT akan berkecimpung di dunia yang lebih kompleks dengan peran yang diembannya. Sastrawan, salah satu dari peran itu, tidak pula bisa dipungkiri turut pula menyemarakkan dunia ini. Mengisi salah satu lini kebudayaan demi manusia dan kemanusiaan serta yang memberi ruh pada jiwanya. Pengetahuan barangkali menajamkan hati, tapi sastralah yang melembutkannya, begitu ucap seorang doktor yang juga senang dengan sastra. Tujuan mulia ini tidaklah boleh kandas hanya gara-gara lingkungan tidak mendukung. Di sinilah peran PT menjadi sangat signifikan sifatnya.
Telah kita saksikan bagaimana bangsa sedikit demi sedikit bobrok akibat orang-orang yang tidak profesional selain, tentunya, tidak juga menggunakan hati yang lembut dan akal yang sehat atas apa yang dilakukannya. Apa harus kita dikhinati terus menerus seperti itu? Sampai kapan? Sampai salah seorang dari kita menjadi korban? Terlalu kotor jika tujuan mulia diwujudkan dengan cara-cara seperti ini. Sindiran pun seakan telah menjadi bebal bagi mereka. Bahkan sebuah surat kabar sempat memberitakan bahwa para pemimpin kita mestinya rajin membaca sastra agar hatinya terasah, peka dan lembut, pun agar kesemuanya itu berdampak pada cara kerjanya. Entah dengan cara apa lagi untuk menyadarkan mereka selain lewat sastra, agama, dan pendidikan moral di sekolah yang kita tahu masih saja bermasalah. Atau, apa mereka memang tidak pernah dewasa?
Kembali kepada masalah inti. Jadi, bagaimanapun, PT tetap saja memiliki kewajiban mencetak mahasiswa lulusannya menjadi apa yang mereka minati seraya membawa bekal dari kemampuan yang telah diasahnya di dunia kampus. Sungguh sangat salah kaprah dosen yang berkata bahwa PT tidak memiliki kewajiban melahirkan mahasiswa menjadi sastrawan. Secara langsung mungkin tidak; tetap saja mereka berkewajiban membangun atmosfir-atmosfir yang mendukung untuk itu. Hal senada juga diucapkan oleh penyair Nenden Lilis Aisyah yang juga staff pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI
Selanjutnya, mahasiswa, tak terkecuali dosennya, bisa beranjak dari kesenangan atas dunianya (sastra) lewat seminar, workshop, dan forum-forum bebas lain yang seyogianya disediakan oleh PT. Sehingga, tidak menutup kemungkinan jika salah satu darinya lahir sastrawan yang memiliki tanggung jawab kepada masyarakat, yang sadar betul akan perannya, selain yang juga tetap berkontribusi di dunia akademik. Sebut saja Abdul Hadi WH, Sapardi Djoko Damono, A. Suminto, (alm) Moh. Wan Anwar, dan banyak lagi; mereka inilah para sastrawan yang lahir dari lingkungan akademik, bahkan masih tetap “berkibar” di almamaternya sampai saat ini. Atas karya, gagasan, dan kontribrusinya kepada dunia sastra khususnya dan masyarakat umumnya, betapa kita tidak lagi meragukannya.
Memang benar jika paradigma akademik-publik masih menjadi masalah yang pelik. Kedua lembaga ini seolah berjalan di atas rel kereta, padahal sebenarnya dunia akademik telah banyak menyumbangkan gagasan yang bermanfaatnya bagi publik. Pun dengan sastra sebagai salah satu bagian dari hidup manusia. Semisal, kendati sastra pada hakikatnya hanya untuk dibaca dan diapresi, intellectual exercises yang berkembang di wilayah kampus sedikit banyak membantu para pembaca dalam memahami karya sastra yang tengah dibacanya. Selain itu teori, metodologi, serta pendekatan yang dikembangkan oleh para ahli sastra, telah turut pula mengenyahkan “kabut hitam” permasalahan yang muncul di wilayah publik ihwal sastra dan kebudayaan. Bagaimanapun, teori tak memperumit keadaan, bahkan ia menyederhanakannya.
Saat ini sastra telah menjadi bagian dari pengetahuan. Ia diakui dan, tidak seperti dulu, bukan lagi “anak tiri” bahasa. Ia benar-benar telah memiliki dunianya sendiri. Pertanyaannya: apakah kita mau menyia-nyiakan kesempatan ini? Pengetahuan terus berlahiran, pun karya sastra yang makin dinamis dari waktu ke waktu. Pengetahuan melahirkan ilmuwan, sementara sastra melahirkan sastrawan. Pertanyaannya: jika ilmuwan saja yang terus dilahirkan, di mana posisi sastrawan yang nantinya bakal urun rembuk dalam kerja pengembangan kebudayaan? Di mana letak hati dan perasaan jika logika dan akal saja yang ditajamkan? Keseimbangan, dalam hal apa pun, tetap saja diperlukan.
Saat ini sastra telah menjadi bagian dari pengetahuan. Ia diakui dan, tidak seperti dulu, bukan lagi “anak tiri” bahasa. Ia benar-benar telah memiliki dunianya sendiri. Pertanyaannya: apakah kita mau menyia-nyiakan kesempatan ini? Pengetahuan terus berlahiran, pun karya sastra yang makin dinamis dari waktu ke waktu. Pengetahuan melahirkan ilmuwan, sementara sastra melahirkan sastrawan. Pertanyaannya: jika ilmuwan saja yang terus dilahirkan, di mana posisi sastrawan yang nantinya bakal urun rembuk dalam kerja pengembangan kebudayaan? Di mana letak hati dan perasaan jika logika dan akal saja yang ditajamkan? Keseimbangan, dalam hal apa pun, tetap saja diperlukan.
Bandung, 09.03.2010
No comments:
Post a Comment