Monday, August 29, 2011

Tambur

Oleh Leo Tolstoy

(1981; Sebuah dongeng dari wilayah Volga)

Emelyan adalah seorang buruh dan bekerja pada seorang majikan. Suatu hari saat dirinya menyeberang padang rumput dalam perjalanannya pulang, dia hampir menginjak seekor katak yang melompat tepat di depannya. Akan tetapi dia dapat menghindarinya. Tiba-tiba dia mendengar seseorang memanggil dirinya dari belakang.

Emelyan memandang ke sekeliling dan melihat seorang perempuan cantik, yang berkata padanya: “Mengapa kau tidak menikah Emelyan?”

“Bagaimana bisa aku menikah, wahai perempuan?” katanya. “Yang kupunya hanya pakaian yang aku gunakan ini, tak lebih, dan tak ada seorangpun yang menginginkanku menjadi suaminya.

“Maka jadikanlah aku istrimu,” pintanya.


Emelyan suka dengan perempuan itu. “Saya akan senang sekali,” jawabnya, “tapi di mana dan bagaimana kita akan hidup?”

“Mengapa harus mempersoalkan masalah itu,” perempuan itu berkata. “Seseorang hanya butuh lebih banyak kerja dan sedikit tidur, dan ia dapat berpakaian dan makan untuk dirinya sendiri di manapun.”

“Baik jka begitu, mari kita menikah,” Emelyan berkata. “Ke mana kita harus pergi?”

“Mari kita ke kota.”

Maka Emelyan dan perempuan itu pergi ke kota, dan perempuan itu membawanya ke sebuah gubuk kecil di paling ujung kota, lantas mereka menikah dan mulai berumah tangga.
Suatu hari ketika Raja melintas kota, dia melewati gubuk Emelyan. Istri Emelyan keluar untuk menemui Raja. Raja mengetahui hal itu dan cukup terkejut.

“Dari mana perempuan secantik itu berasal?”katanya seraya menghentikan bawaannya dia memanggil istri Emelyan dan bertanya: “Siapa engkau?”

“Aku istri Emelyan Si Petani,” jawabnya.

“Mengapa kau, yang begitu cantik ini, menikahi seorang petani?” kata Raja. “Kau mestinya menjadi seorang Ratu saja.”

“Terima kasih untuk kata-kata Paduka yang manis,” tuturnya, ”tapi suami seorang petani sudah cukup bagi hamba.”

Raja berbicara padanya tak lama lantas melanjutkan perjalanan. Dia kembali ke istana, tapi tetap terngiang istri Emelyan di pikirannya. Sepanjang malam dia tak tidur, melainkan berpikir bagaimana cara mendapatkannya. Dia tak bisa berpikir bagaiman cara melakukannya, maka dia memanggil para pengabdinya lalu berkata agar mereka bisa mencari sebuah cara.

Pengabdi Raja berkata: “Perintahkan Emelyan untuk datang ke istana dan bekerja. Kami akan mempekerjakannya dengan keras hingga akhirnya dia mati. Tentu istrinya akan menjadi seorang janda, dan Raja bisa memilikinya.”

Raja mengikuti saran mereka. Dia memerintahkan agar Emelyan menghadap ke istana sebagai seorang pekerja dan dia harus tinggal di istana bersama istrinya.

Pembawa pesan datang kepada Emelyan dan menyampaikan pesan Raja. Istrinya berkata: “Pergilah Emelyan; bekerjalah seharian, tapi pulanglah di saat sudah malam.”

Maka, Emelya pun pergi dan ketika dia sampai di istana, pengabdi raja bertanya padanya: “Mengapa kau datang sendirian tanpa istrimu?”

“Mengapa aku harus membawanya?” jawab Emelyan. “Dia punya rumah untuk ditinggali.”
Di istana Raja mereka memberinya pekerjaan yang cukup untuk dua orang. Di mulai bekerja dan berharap untuk tak menyelesaikannya; tapi ketika malam tiba, lihatlah! Semuanya selesai. Pengabdi melihat jika pekerjaannya telah selesai, dan memberinya sebanyak empat kali lipat pekerjaan untuk hari esoknya.

Emelyan pulang ke rumah. Semuanya telah disapu dan dirapikan; tungku di hangatkan, makan malam telah dimasak dan disiapkan untuknya, dan istrinya duduk di dekat meja seraya menjahit dan menunggu kepulangannya. Dia menyambutnya, menyiapkan meja, memberinya makan serta minum, dan mulai bertanya soal pekerjaannya itu.

“Ah!” katanya, “pekerjaan yang buruk; mereka memberi tugas di luar kemampuanku, dan ingin membunuhku dengan pekerjaan itu.”

“Jangan rewel dengan pekerjaan itu,” istrinya berkata, “jangan juga melihat sebelum atau di baliknya untuk mengetahui berapa banyak yang sudah kauselesaikan atau berapa banyak tugas tersisa yang harus dikerjakan; tetapi tetaplah bekerja dan semuanya akan baik-baik saja.” 

Emelyan pun merebahkan diri dan tidur. Keesokan paginya dia kembali bekerja dan bekerja tanpa sekali-kali melihat ke sekelilingnya. Dan, lihat, lihatlah! Sebelum malam tiba semua tugasnya sudah selesai, dan sebelum hari menjadi gelap ia pun pulang.

Lagi dan lagi mereka menambah pekerjaan Emelyan, akan tetapi dia selalu berhasil menyelesaikannya tepat pada waktunya dan kembali pulang ke gubuknya untuk tidur. Satu minggu berlalu, dan pengabdi Raja mengetahui bahwa mereka tak mampu mengalahkannya dengan tugas berat sehingga mereka memberinya pekerjaan yang membutuhkan keahlian. Akan tetapi, hal ini pun tak membantu. Menjadi tukang kayu, tukang bangunan, tukang betul atap, apa pun yang mereka perintahkan padanya untuk dikerjakan, Emelyan menyelesaikannya pada waktunya, dan pulang kepada istrinya pada malam harinya. Dan minggu kedua pun berlalu sudah.

Kemudian Raja memanggil para pengabdinya dan berkata: “Apakah kalian pikir aku memberimu makan dengan percuma? Dua minggu sudah habis, dan aku tak melihat kalian sudah menyelesaikan sesuatu apa pun. Kalian berusaha membuat Emelyan payah dengan pekerjaan, tapi aku lihat dari jendela bagaimana dia pulang setiap malamnya sambil bernyanyi dengan ceria! Apakah kalian bermaksud untuk membodohiku?

Para pengabdi mulai membuat alasan untuk dirinya sendiri. “Kami sudah berusaha sebaik mungkin dalam memberikannya pekerjaan yang kasar,” timpalnya, “tapi tak ada yang cukup berat baginya; dia membereskan semuanya seakan-akan seperti menyapu saja. Tak ada yang bisa membuatnya lelah. Lantas kami memberinya tugas yang memerlukan keahlian, yang kami pikir dia tak cukup pintar untuk mengerjakannya, tapi ternyata dia membereskan semuanya. Tugas apa pun yang diberikan padanya, dia pasti menyelesaikannya, tak ada yang tahu bagaimana caranya. Baik dia maupun istrinya tahu beberapa mantra yang mungkin membantunya. Kami sendiri muak dengannya, dan berharap bisa menemukan pekerjaan yang tak bisa diselesaikannya. Sekarang kami berpikir memberinya tugas untuk membangun sebuah gereja katedral dalam waktu satu hari. Lalu, jika dia tidak mau melakukannya, kita penggal saja kepalanya karena ketidak-patuhannya.”

Raja pun menyuruh Emelyan. “Dengar perintahku,” titahnya: “Bangunkan aku sebuah katedral di lapangan di depan istanaku, dan harus sudah selesai sebelum malam esok hari. Jika kau menyelsaikannya aku akan memberimu hadiah; tapi jika tidak, aku akan memenggal kepalamu.”

Ketika Emelyan mendengar perintah raja, dia berbalik dan langsung pulang. “Riwayatku sudah dekat,” pikirnya. Seraya menemui istrinya dia berkata: “Bersiaplah istriku, kita harus segera meninggalkan tempat ini, atau aku akan habis oleh kesalahan yang bukan berasal dari diriku sendiri.

“Apa yang membuatmu jadi sangat begitu ketakutan?” katanya, “dan mengapa kita harus lari?”

“Bagaimana bisa aku tidak takut? Raja telah memerintahku, besok, dalam waktu sehari, untuk membangun sebuah katedral untuknya. Jika aku gagal, Raja akan memenggal kepalaku. Hanya ada satu hal yang harus dilakukan: kita harus segera pergi selama masih ada waktu.”

Tetapi istrinya tak mau mendengarkannya. “Raja itu memiliki banyak prajurit,” dia berkata. “Mereka bisa menangkap kita di mana saja.Kita tidak bisa meloloskan diri darinya, kecuali mematuhi perintahnya selama masih ada kekuatan.”

“Bagaimana aku bisa mematuhinya, sedang tugas yang diberikan padaku melebihi kemampuanku?”

“Oh, sayangku, janganlah putus asa. Santaplah makan malammu sekarang dan pergilah tidur. Bangunlah pagi-pagi dan semuanya akan beres.”

Emelyan pun berbaring dan tidur. Istrinya membangunkannya keesokan hari. “Ayo cepat,” katanya, “dan selesaikanlah katedral itu. Ini paku dan palu, masih ada waktu untuk bekerja sehari ini di sana.”

Emelyan berangkat ke kota, sampai di lapangan istana, dan di sana berdiri katedral besar yang belum rampung. Emelyan bersiap kerja untuk melakukan apa yang dibutuhkan, dan ketika malam tiba semuanya sudah selesai.

Ketika Sang Raja bangun tidur, dia melihatnya dari istana. Lantas melihat katedral, juga melihat Emelyan yang tengah sibuk menancapkan paku di sana-sini. Raja tidak cukup senang dengan memiliki katedral. Dia kesal karena tak bisa menghukum Emelyan dan mengambil istrinya. Dia pun kembali memanggil para pengabdinya. “Emelyan telah mengerjakan tugas ini juga,” kata Raja, “dan tak ada alasan untuk menyaksikannya mati. Bahkan tugas ini pun tidak menjadi berat baginya.  Kalian harus mencari rencana yang lebih licik lagi, jika tidak akan kupenggal leher kalian seperti lehernya.”

Maka para pengabdi merencanakan agar Emelyan diperintah untuk membuat sungai di sekeliling istana, dengan kapal yang bisa berlayar di atasnya. Dan Raja memerintahkan Emelyan dengan tugas baru ini.

“Jika,” kata Raja, “kau bisa membangun katedral dalam satu malam, pastinya kau juga bisa mengerjakan yang satu ini. Besok harus sudah selesai. Jika tidak, kepalamu taruhannya.”
Emelyan merasa putus asa lebih dari sebelumnya, dan kembali kepada istrinya dengan perasaan sedih di hatinya.

“Mengapa kau begitu sedih?” Tanya istrinya. “Apakah Raja memberikanmu tugas yang baru?”

Emelyan bercerita tentangnya. “Kita harus pergi,” katanya.

Tapi istrinya menjawab: “Tak mungkin meloloskan diri dari para prajurit. Mereka bakal menangkap kita ke mana pun kita pergi. Tak ada yang bisa dilakukan selain melaksanakan perintahnya.”

“Bagaimana aku bisa melakukannya?” rintih Emelyan.

“Aduh! Aduh! Suamiku,” kata istrinya, “janganlah putus aja. Makanlah makan malammu, dan pergilah tidur. Bangun pagi-pagi, dan semua pasti akan selesai tepat pada waktunya.”
Emelyan pun tidur. Ketika pagi tiba istrinya membangunkannya. “Pergilah,” suruhnya, “ke istana –semuanya sudah siap. Hanya saja, dekat dermaga di depan istana, ada gundukan tanah tersisa, ambillah sekop dan ratakanlan tanahnya itu.”

Ketika Raja terjaga dari tidurnya dia melihat sungai yang sebelumnya tak pernah ada di sana; kapal berlayar ke sana kemari, dan Emelyan tengah meratakan gundukan tanah dengan sekop. Raja heran, tapi tidak senang baik dengan sungai maupun dengan kapal itu, begitu jengkelnya hingga dia tak mampu mengutuk Emelyan. “Tak ada tugas,” pikirnya, “yang tak bisa dia kerjakan. Apa yang harus dilakukan?” Dan Raja kembali memanggil para pengabdinya dan meminta saran mereka.

“Cari pekerjaan,” katanya, “yang tak bisa ia ukur. Karena apa pun yang kita rencanakan selalu saja dia selesaikan, dan aku tak bisa mengambil istrinya.”

Para pengabdi Raja berpikir dan berpikir, dan pada akhirnya ditemukanlah satu cara. Mereka menghadap Raja dan berkata: “Perintahlah Emelyan dan katakan padanya: ‘pergilah ke sana, tak tahu ke mana,” dan bawalah “itu, tak tahu apa.” Maka dia takkan bisa lolos dari Paduka. Ke manapun dia pergi, Paduka bisa berkata jika dia berangkat bukan pada tempat yang tepat, dan apa pun yang ia bawa, Paduka bisa berkata jika itu bukanlah barang yang benar. Maka Paduka bisa memenggal kepalanya dan mengambil istrinya.”


Raja merasa senang. “Sungguh pikiran yang  cerdik,” katanya. Maka Raja pun memerintah Emelyan dan berkata: “Pergilah ‘ke sana, tak tahu ke mana,’ dan bawalah ‘itu, tak tahu apa.’ Jika kau gagal membawanya, aku akan memenggal kepalamu.”


Emelyan pulang kepada istrinya dan mengatakan padanya apa yang telah Raja katakan. Istrinya pun berpikir.


“Jadi,” ucapnya, “mereka telah mengajarkan Raja bagaimana menangkapmu. Sekarang kita harus bertindak hati-hati.” Lantas dia pun duduk dan berpikir, dan akhirnya berkata pada suaminya: “Kau harus pergi jauh menuju Grandam kita, yakni perempuan petani tua, ibu dari segala prajurit, dan kau harus meminta pertolongannya. Jika dia memintamu apa saja, segeralah pergi ke istana dengannya, aku akan ada di sana: Aku tak bisa meloloskan diri dari mereka sekarang. Mereka akan mengambilku dengan paksa, tapi tidak untuk waktu yang lama. Jika kau melakukan apa yang Grandam perintahkan, dengan segera kau akan menyelamatkanku.”


Selanjutnya istrinya menyiapkan segalanya untuk perjalanan suaminya. Dia memberinya dompet, dan juga gendongan. “Berikan ini padanya,” katanya. “Dengan tanda ini, dia akan tahu jika kau ini suamiku.” Dan istrinya menunjukkan jalan padanya.


Emelyan bergegas. Ditinggalkannya kota, dan pergi ke tempat di mana para prajurit dilatih. Emelyan berdiri dan memerhatikan mereka. Setelah selesai latihan, para prajurit duduk istirahat. Emelyan pun beranjak dan bertanya kepada mereka: “Saudaraku, tahukah kau jalan “ke sana, tak tahu di mana?” dan bagaimana aku bisa mendapatkan “itu, tak tahu apa?”

Prajurit itu mendengarkannya dengan heran. “Siapa yang mengirimmu dengan suruhan ini?” Tanya mereka.

“Sang Raja,” jawabnya.


“Kami sendiri,” katanya, “dari hari pertama menjadi prajurit, pergi “ke tempat yang entah ke mana,” dan sampai sekarang tak pernah tahu apakah sudah sampai di sana; dan kami mencari tahu apa yang  kami ‘tidak tahu itu apa.’ Dan tak pernah bisa menemukannya. Kami tak bisa membantumu.”


Emelyan duduk sejenak dengan mereka dan berangkat lagi. Dia berjalan bermil-mil hingga akhirnya tiba di sebuah hutan. Di hutan itu terdapat sebuah gubuk, dan di gubuk itu duduk seorang perempuan tua, ibu dari para prajurit petani, memutar batang rami sambil menangis. Dan selama dia memutar dia tidak menyimpan jari di mulutnya untuk membasahinya dengan air ludah, tapi di matanya untuk membasahinya dengan air mata. Ketika perempuan tua itu melihat Emelyan, dia menangis padanya: “Mengapa kau ke sini?” Dan Emelyan memberinya gendongan, dan berkata jika istrinyalah yang mengirimnya.


Perempuan tua itu lunak seketika, dan mulai menanyainya. Emelyan pun mulai menceritakan seluruh hidupnya: bagaiman dia menikahi istrinya; bagaimana mereka hidup di kota; bagaimana dia bekerja, dan apa yang sudah dia kerjakan terhadap istana; bagaimana dia membangun katedral, dan membuat sungai dengan kapal di atasnya, dan bagaimana sekarang Raja telah menyuruhnya untuk pergi ‘ke sana, tak tahu ke mana,’ dan membawa ‘sesuatu, tak tahu apa.’


Grandam mendengarkan sampai selesai , dan berhenti menangis. Dia menggerutu pada dirinya sendiri: “Waktunya sudah tiba,” dan katanya pada Emelyan. “Baiklah, anakku. Duduklah sekarang, dan aku akan memberikanmu sesuatu untuk dimakan.”


Emelyan makan, dan kemudian Grandam menyuruhnya apa yang harus dilakukan. “Ini,” katanya, “adalah bola benang; gelindingkanlah di depanmu, dan ikutilah ke mana ia pergi. Kau harus pergi jauh sampai kau tiba dengan tepat di laut. Ketika kau tiba di sana, kau akan melihat kota yang luar biasa. Masukilah kota itu dan menginaplah semalam di rumah palling jauh. Di sana, lihatlah apa yang sedang kaucari.” 


“Bagaimana aku mengetahuinya di saat aku melihatnya, Nek?” katanya.


“Di saat kau melihat sesuatu di mana manusia mematuhi lebih dari ibu dan ayahnya, itulah dia. Ambil itu dan bawalah kepada Raja. Ketika kau menyerahkannya pada Raja, dia akan berkata jika bukan itu yang dia cari, dan kau harus menjawab: “Jika ini bukanlah hal yang tepat maka ini harus dihancurkan.” Dan kau harus memukulnya, dan membawanya ke sungai, pecahkan berkeping-keping, dan taburkan ke air. Maka kau akan mendapatkan istrimu kembali dan air mataku akan mengering.”


Emelyan mengucapkan selamat tinggal kepada Grandam dan mulai menggelindingkan bola benang di depannya. Bola itu menggelinding dan terus menggelinding hingga akhirnya sampai di laut. Di dekat laut berdirilah sebuah kota, dan di ujung kota itu terdapat sebuah rumah besar. Di sana Emelyan meminta dengan sangat agar bisa menginap untuk semalam, dan diizinkan. Dia berbaring tidur, dan bangun di pagi harinya lanta mendengar seorang ayah membangunkan anaknya untuk memotong kayu dan membuat api. Tapi, anak itu tidak mematuhinya. “Terlalu pagi,” kata anak itu, “dan masih cukup banyak waktu.” Lalu Emelyan mendengar ibunya berkata; “Pergilah, anakku, ayahmu sakit tulang; relakah kau membiarkan ayahmu pergi sendiri? Sekarang waktunya untuk bangun.”


Tapi anaknya hanya menggerutu dan kembali tidur. Hampir dia tertidur ketika sesuatu berderap dan berderik di jalan kota. Berjingkat anak itu dan dengan cepat mengenakan pakaiannya lantas berlari menuju jalan. Pun dengan Emelyan. Ia mengejarnya untuk mengetahui apakah sesuatu yang membuat si anak itu mematuhi perintah lebih dari ayah dan ibunya. Apa yang dilihatnya adalah seorang pria berjalan kaki sambil membawa, terikat di perutnya, sesuatu yang dia pukul menggunakan tongkat, dan itulah  yang membuatnya berderik dan berderap, dan yang membuat anak itu memathui perintahnya. Emelyan mengejarnya dan telah melihatnya. Dia melihat sesuatu  berbentuk bundar, seperti sebuah bak kecil, dengan kulit terentang di kedua ujungnya, dan ia bertanya apakah itu.


Dibertahunya,” itu tambur.”


“Dan apakah itu kosong?”


“Ya, kosong.”


Emelyan terkejut. Dia meminta mereka agar memberikan benda itu padanya, tapi mereka tidak mau. Maka Emelyan pun tak lagi meminta, akan tetapi mengikuti pemukul tambur itu. Seharian dia mengikutinya, dan ketika si pemukul tambur hendak tidur, Emelyan merenggut tambur itu dan membawanya kabur.


Dia lari dan terus berlari, sampai pada akhirnya dia tiba di kotanya. Dia pergi menemui istrinya, tapi istrinya tak ada di rumah. Sehari setelah Emelyan pergi, Raja telah mengambilnya. Maka Emelyan pun menuju ke istana, dan mengirimkan pesan kepada Sang Raja: “ Telah kembali orang yang pergi ‘ke sana, tak tahu ke mana,’ dan telah membawa bersamanya ‘itu, yang tak tahu apa.’”


Mereka menyampaikannya pada Raja, dan Raja berkata agar dia kembali esok hari.

Tapi Emelyan berkata, “Katakan pada Raja jika aku ada di sini hari ini, dan telah membawa apa yang Raja minta. Biarkan Raja datang padaku, jika tidak aku yang akan datang padanya.”
Sang Raja keluar. “Ke mana saja kau?” tanyanya.

Emelyan pun menjawab.


“Itu bukanlah tempat yang tepat,” Raja berkata. “Apa yang kaubawa?”


Emelyan menunjuk pada tambur, tapi Raja tidak bisa melihatnya.


“Bukan itu.”


“Jika ini bukan benda yang tepat,” kata Emalyan, “maka ini harus dihancurkan, dan semoga iblis mengambilnya.”


Dan Emelyan pun meninggalkan istana, membawa tambur dan memukulnya. Dan di saat Emelyan memukulnya, semua bala tentara Raja berlari dan mengikutinya. Mereka menghormati Emelyan dan menunggu perintahnya. 


Sang Raja, dari jendelanya, mulai berteriak pada bala tentaranya agar tidak mengikuti Emelyan. Mereka tidak mendengar apa yang dikatakan Raja, tapi semuanya malah mengikuti Emelyan.


Ketika Sang Raja melihat itu, dia memberi perintah agar istri Emelyan dikembalikan lagi padanya, dan memerintah Emelyan agar memberikan tamburnya.


“Ini tak bisa dilakukan,” Emelyan berkata. “Aku diberitahu untuk memukul tambur ini dan melemparkan pecahannya ke sungai.”


Maka Emelyan pun turun ke sungai sambil membawa tambur, dan para prajurit mengikutinya. Ketika Emelyan sampai di tepi sungai, dia menghancurkan tambur itu hingga berkeping-keping, dan melemparkan serpihannya ke aliran sungai. Lantas semua prajurit pun berlari.


Emelyan menjemput istrinya dan pulang bersamanya. Setelah itu, Sang Raja berhenti mengganggunya; dan mereka pun hidup bahagia selama-lamanya. []


Diterjemahkan dari cerpen berjudul “The Empty Drum” oleh Firman Nugraha; Jatiluhur, 29 Agustus 2011

No comments:

Post a Comment