biru langit hijau pohonan
dan kuning bulir padi
mungkin sebatas detik waktu
ketika ekor mataku menyergapmu
sedang di belakang telinga
mulut perut berkumandang
dengan perih yang tak juga hilang
mengancam langit
pohonan dan tanah tegalan
lewat deru tubuh tembaga
Des 2011
Mata Kanan
malam hanya hitam
ruang lengang tanpa lampu
napas berdiam di jarum jam
pergi pulang dan kembali datang
di bawah pudar cahaya bulan
rencana terus dikumandangkan
bagai azan bagai waktu
memapah mataku
mengunjungi garis tangan
dan mengecupnya dengan rindu
Des 2011
Mencium Daun
apa yang diajarkan akar pada daun
selain bertasbih?
ranting-ranting tak pernah menagih
janji menyanyikan lagu hari
pucuk-pucuk pun menunjuk langit
memanjatkan puja puji
apa yang aku tunjuk
selain matahari yang selalu terbit
di dada kiri penuh bulu
lantas mengembangkan langkah
membuat jejak kaki
sedang basah hujan menghapusnya
tanah longsor menguburnya
dalam sebuah upacara?
berdiri di depanmu
aku seakan tak punya arti
membisu dalam lemah tubuh
tak tegak dan acap bercagak
tak hijau selain hitam rambut
sehitam hatiku
maka, kucium lembar tubuhmu
yang senantiasa memberi napas waktu
sungguh, belum bisa aku bertasib
kecuali hati yang ingin kurendam
selalu di air selasih
2009/2011
Bermakmum di Sebuah Mesjid
kusetel frekuensi
pada Satu gelombangmu
astaga! bunyi ringtone itu
ternyata lebih fasih
ketimbang bunyi hatiku
2009/2011
Luka senja
betapa susah menelan ludah
ketika sumpah dilanggar
bibir pun gemeletuk bulir-bulir tegar
terukir bersama catatan ingatan
mengurainya di antara deru hujan
Djati, Des 2011
Tanda
seorang bocah dan sesobek malam
sebatang kapur dan sehelai kertas hitam
dibuatnya titik-titik di atas kertas itu
seraya berkata, “ini bintang
tanda hari masih malam!”
Djati, Jan 2012
Angin
atas nama hidup
kaurelakan angin diam di tubuhmu
menggariskan warna merah
di balik punggungmu
Djati, Jan 2012