Tak
lama setelah mendengar berita jika manusia hendak menjadi kerbau, keluarga kerbau
pun kelimpungan. Bukan tak mungkin kerbau akan menjadi banyak; tapi, bagaimana
dengan kerbau sendiri? Masihkah mereka tetap menjadi kerbau, atau harus menjadi
apa?
Sebenarnya
berita itu sudah jauh-jauh hari mereka dengar, walau hanya sebatas gosip-gosip
tetangga. Tapi jika kenyataannya manusia benar-benar ingin menjadi kerbau,
malah ingin mendeklarasikannya segala, ini bukan main-main namanya. Keluarga
kerbau bisa jadi kehilangan pekerjaannya karena terlalu banyak saingan.
Lahan
pekerjaan bisa jadi bekurang. Sawah tempat biasa kerbau bekerja bisa penuh, pedati
yang biasa ditarik pun bisa jadi lahan rebutan antar sesama kerbau. Keluarga
kerbau yang biasa mengerjakan pekerjaan ini bukan tak mungkin jadi
pengangguran. Kerbau pengangguran. Dan itu tidak mungkin, tidak baik dan tidak
sehat.
Tanpa
pikir panjang, keluarga kerbau pun mengadakan pertemuan, semacam konferensi yang
diikuti keluarga kerbau dari seluruh dunia.
Seekor
kerbau yang kebetulan sudah tua, tak hanya umur tapi juga pengalamannya,
membuka konferensi itu.
“Sebelumnya,
saya, mewakili kaum kerbau yang ada di sini, mengucapkan banyak terima kasih
atas kehadiran Anda semua. Sengaja konferensi ini diadakan di Andalas mengingat
selain kaum kita ini adalah asli dari negeri ini, jumlahnya pun lebih banyak
ketimbang di negeri-negeri lain. Akan tetapi, tanpa mengurangi rasa hormat dan
penghargaan, saya haturkan selamat datang dan terima kasih untuk keluarga
kerbau yang sudah jauh-jauh datang baik dari Filipina, India, bahkan dari
negeri Paman Sam sana, Amerika.”
Semua peserta
khidmat mendengarkan pembukaan dari Eyang Kerbau yang disinyalir merupakan
empunya kerbau dan masih punya darah keturunan langsung dengan nenek moyang
dari segala kerbau yang ada di dunia.
“Keluarga
kerbau semuanya yang saya hormati, sebagaimana kita tahu jika akhir-akhir ini
kita mendengar berita yang cukup mencengangkan kita semua. Walau demikian, saya
pikir ini bukanlah hal baru bagi kita. Semenjak manusia tahu sifat dan tingkah
laku kita, semenjak itu pula kita menjadi contoh, teladan dan panutan bagi mereka.
Manusia mungkin berpikir jika kita ini, keluarga kerbau, adalah makhluk yang
pandir dan bodoh, meski sebenarnya kita adalah makhuk yang rendah hati. Tidak
berarti kita ini dicocok hidung maka kita nurut-nurut saja sama manusia.
Kenyataanya, kita ini kasihan sama mereka, karena tanpa kita bagaimana mungkin
mereka bisa makan, bisa membajak sawah tempat padi disemai. “
“Lalu,”
lanjutnya, “kita juga turut serta memberikan kerabat kita, yakni sapi, punya
nama. Walau kita tahu kita ini punya susu. Akan tetapi, kenyataanya, tidak
hanya manusia tidak belajar dari kerbau; parahnya, mereka malah memiliki sifat
dan tingkah kita. Bukan yang baik, tapi yang buruk. Manusia sekarang adalah
kerbau yang menanduk anak; adalah kerbau yang runcing tanduk; adalah kerbau
yang dibeli di padang; adalah manusia yang mengambat kerbau berlabuh antara
sesamanya. Bahkan lebih parah lagi, manusia sekarang banyak yang suka berkumpul
seperti kerbau di hutan remang-remang sana. Saya pikir, mungkin, karena
terlanjur memiliki sifat dan perilaku seperti kita ini, manusia pada akhirnya
memutuskan untuk menjadi kerbau saja.”
Mendengar
itu, suara gemuruh dari mulut-mulut kerbau memenuhi konferensi. Sebagian ada
yang marah akan keputusan manusia itu, sebagian lagi menyayangkannya.
“Baik-baik,”
sela empu kerbau, “saat ini saya hanya bisa mengembalikan keputusan kepada kita
semua yang ada di sini tentang bagaimana sikap kita seharusnya menghadapi
kenyataan itu. Satu yang pasti, kita harus memikirkan bagaimana nasib kaum kita
selanjutnya.”
Dengusan
nafas, lenguhan dan cibiran mulai membahana di antara mereka. Limbung tak
dinyana mendapati kenyataan tentang manusia yang ingin mendeklarasikan dirinya
menjadi kerbau. Hajat hidup keluarga kerbau pun ditaruhkan di konferensi itu.
Setelah
menghembuskan napas berat seekor kerbau yang berasal dari Amerika dengan
amarahnya berkata: “Apa harus kita serbu saja manusia itu? Kita seruduk saja
mereka sampai mati agar mereka mengurungkan niatnya itu.”
Sesaat
peserta keonferensi terdiam mendengar perkataannya, akan tetapi dengan cepat
suara gemuruh lekas membahana.
“Tidak,
tidak Bapak Bison,” sela Empu Kerbau, “cara itu bukanlah cara yang baik yang
bisa kita lakukan terhadap manusia. Meski kita ini besar dan kuat, tapi jumlah
kita tidak lebih banyak dari mereka yang sekarang ini sudah mencapai tujuh
miliar. Cara itu pun hanya akan menambah permasalahan saja. Bukan tidak mungkin
akan muncul banyak pemberitaan tentang tingkah laku kita yang sangat tidak
kerbauwi itu di media massa. Jika sudah seperti itu, manusia bisa jadi memutuskan
untuk melenyapkan kita di muka bumi karena image jelek yang kita buat
sendiri. Dan itu sama artinya dengan ancaman punah bagi kaum kita.”
Beberapa
kerbau manggut-manggut mendengar penjelasan itu. Tapi tak lama setelah itu,
seekor kerbau yang sedari tadi duduk, berdiri dan melangkah beberapa kali
seraya berkata,” jika begitu, mengapa tidak kita biarkan saja manusia itu
menjadi kerbau? Biarkan saja mereka mendeklarasikan keinginannya jadi kerbau
sehingga Sanghyang Dewata mengubah mereka jadi kerbau.” Kerbau Tamarau dengan
kaki pendek yang berasal dari Filipina tapi masih menyimpan kepercayaan
leluhurnya dari India itu, menggelengkan kepalanya ke kanan ke kiri seakan
berkata: “Ya, begitu saja.”
Seekor
kerbau lainnya berdiri dan menegaskan perkataan kerbau tadi. “Ya, begitu
sajalah. Biarkan saja manusia menjadi kerbau kalau memang itu yang mereka
inginkan. Tidakkah bagus banyak kerbau? Bakal banyak sawah yang digarap, pedati
yang ditarik dan banyak lagi lainnya. Jadi kita tidak harus terlalu cape
mengerjakan pekerjaan yang biasa kita lakukan itu….”
“Maaf
saudaraku,” seekor kerbau Carabao menyela, “jika manusia jadi kerbau, lalu
kerbau jadi apa?”
“Ya,
jadi banyak, “ celetuk seekor kerbau yang kebetulan masih remaja dan suka
bercanda. Tawa dan senyum pun tebar di antara mereka.
“Maksud
saya,” lanjutnya, “jika manusia jadi kerbau, lalu siapa yang akan menikmati
hasil dari pekerjaan kerbau? Sangat muskil sekiranya kerbau dan manusia-kerbau
menikmati hasil pekerjaannya sendiri, karena kerja kita hanya kerja: membajak
sawah dan segala pekerjaan angkut-mengangkut, mulai dari mengangkut hasil panen
sampai mengangkut manusia.”
“Kerbau
makan kerbau, dong?” sahut kerbau yang menyela tadi. Gelak tawa kembali
meramaikan percakapan.
“Ada
betulnya juga kata Bapak Carabo tadi,” seekor yang lainnya coba membenarkan. “Coba
bayangkan bagaimana kalau manusia jadi kerbau? Rumah-rumah akan ditinggalkan
dan kandang-kandang akan berjejalan memenuhi muka bumi. Sawah-sawah dan ladang
akan penuh dengan kerbau sedang kita tahu kerbau tidak bisa membuka lahan sawah
dan ladang baru melainkan oleh manusia. Lahan pekerjaan akan menyempit dan
persiangan pasti akan terjadi. Persaingan lahan, dan tentunya persaingan bahan
makanan. Sangat tidak mungkin jika kita harus jadi kerbau pengangguran. Itu
bukan kerbau namanya, lagi pula itu bukan identitas kita, keluarga kerbau.”
“Susah
amat sih, sudah seruduk saja manusia itu,” bison lantang berteriak.
“Jangan!”
Empu kerbau menjawab.
“Ya
sudah biarkan saja mereka jadi kerbau!” seru Tamarau.
“Tidak
bisa!” Carabao menyahut.
Pertengkaran
pun terjadi di antara mereka. Sebagian setuju, sebagian tidak, sebagian lagi
bingung entah harus memihak mana. Haruskah mereka setuju membiarkan manusia
mendapat apa yang diinginkannya, atau tidak. Saking sengitnya perdebatan itu,
beberapa ekor kerbau malah sempat beradu dan saling seruduk karena pendapatnya
masinng-masing. Sampai pada akhirnya,…
“Cukup…
cukup! Hentikan perdebatan dan perkelahian ini wahai saudaraku sebangsa dan
seketurunan! Hentikan!” teriakan empu kerbau mengalihkan perhatian semua. “Tidakkah
kita sadar dengan perbuatan kita ini? Apa bedanya kita dengan manusia kalau
begitu? Suka berdebat dan membenarkan pendapatnya masing-masing, sampai-sampai
harus menumpahkan darah, bahkan mengorbankan nyawa sesama? Di mana harkat derajat
kita sebagai seekor kerbau? Apa kata nenek moyang kita nanti? Ingat saudaraku,
tidak ada sejarahnya kerbau saling menikam kaumnya sendiri. Tidak ada dan tidak
pernah, bahkan dalam ilmu biologi sekalipun, bangsa binatang itu saling bunuh.
Ingatlah hakikat binatang! Ingat saudaraku, kita ini bukan manusia. Camkan
itu!” Geram Empu Kerbau seraya bahunya turun-naik karena amarah.
Kerbau-kerbau
pun seketika terdiam mendengar perkataan itu. Mereka sadar mereka khilaf. Mereka
tahu jika mereka adalah kerbau, dan bukan anjing, babi apalagi yang lainnya,
terlebih manusia. Beberapa saat mereka kehilangan kekerbauan mereka, dan hal
itu benar-benar sangat disayangkan oleh semua yang ada di sana. Mereka melenguh
dan mengemoh menangisi peristiwa tadi. Peristiwa yang hampir saja mengubah
status mereka yang kerbau menjadi sesuatu yang lain.
Tiba-tiba
dari arah kerumunan melangkahlah seekor—atau mungkin seorang –kerbau ke
tengah-tengah forum. Semua kerbau menatapnya keheranan seakan tak percaya
dengan apa yang dilihatnya. Dari ujung tanduk sampai ke ujung kaki, baru mereka
melihat mahluk seperti itu untuk pertama kali. Tak sedikit matapun mengedip
ketika mereka melihat makhluk itu. Semua tatapan teruju pada makhluk berkepala
kerbau namun bertubuh manusia.
Empu
kerbau pun sempat mengernyitkan dahi tepat ketika makhluk itu berada di
hadapannya.
“Wahai,
siapa dan ada keperluan apakah gerangan datang kemari, ke konferensi kerbau
ini?” tanyanya.
“Mmoooaaah
(baca: Salam), Empu Kerbau yang saya hormati. Sebelumnya, saya minta maaf jika
penampakan saya ini mengganggu jalannya konferensi. Saya yakin jika keberadaan
saya ini mengganggu semua kerbau yang ada di sini. Karenanya, sekali lagi, saya
mohon yang teramat maaf sekali.” Makhluk itu melenguh dan menjatuhkan
tatapannya ke tanah.
“Seperti
yang Empu Kerbau dan semuanya lihat,” lanjutnya seraya menatap ke depan, “saya
ini adalah manusia, tapi saya juga kerbau. Kalian bisa melihat kepala saya yang
kerbau dan tubuh saya yang masih manusia ini. Sungguh menyedihkan bernasib
seperti ini. Tapi, bagaimana lagi, saya harus menerimanya dengan dada yang
lapang.”
“Adapun
kedatangan saya ini adalah, bermaksud untuk memberi tahu seyogianya, bahkan
sebelum pendeklarasian itu, manusia sudah banyak yang menjadi kerbau. Sebagaimana
yang kita semua tahu, manusia adalah makhluk yang selalu butuh eksistensi.
Mereka butuh pengakuan atas apa dan siapa dirinya. Maka dari itu, untuk menjadi
kerbau pun mereka butuh deklarasi. Biar dianggap sah katanya. Entahlah. Dan,
saya pikir, tak perlu kiranya keluarga kerbau yang ada di sini kalang kabut
dengan keputusan manusia itu. Saya pikir semua sudah pada jalannya
masing-masing.”
“Moah
(baca: Selamat datang) saya ucapkan padamu anak muda. Jujur, kami terkejut
melihat kedatangan Anda di konferensi ini. Terlebih melihat wujud Anda yang
seperti itu. Tapi asal Anda tahu, kami tidak lantas merendahkan Anda juga
manusia yang ada. Dari dulu kaum kami dan kaummu sudah berteman sejak lama.
Kami membantu pekerjaan manusia sebagaimana manusia dengan sangat baik mengurus
kami. Tapi, ada satu hal yang membuat saya, kami, masih penasaran...,” Empu
Kerbau memotong kata-katanya dan sejenak terdiam.
“Apakah
itu Empu? Ceritakanlah!” pintanya.
“Sebenarnya,
alasan apa yang membuat manusia ingin menjadi kerbau seperti kami? Tidakkah
nikmat menjadi manusia. Mereka bisa melakukan apa saja dan mendapatkan apa yang
mereka inginkan. Mengapa harus repot-repot menjadi kerbau yang tempat kerjanya
tak lebih dari kandang dan sawah? Tolong jelaskan kepada kami!”
“Sungguh
bukan kesalahan yang bisa dibanggakan, Empu. Benar kata Empu tentang manusia.
Tapi di tengah gemerlap hidup yang serba tak pasti, di zaman yang santer
disebut-sebut sebagai globalisasi, di masa dimana kebutuhan akan materi menjadi
satu-satunya tujuan, manusia justru menjadi makhluk paling tidak jelas. Tidak jelas
nasib dan takdirnya. Tak tahu ke mana arahnya. Setiap hari yang kami lakukan
hanya bekerja dan bekerja. Kami turuti semua aturan dan larangan dan segala
macam perintah atasan. Kami iyakan semua perkataan dan perbuatan pimpinan
karena jika tidak, hidup kami bisa terancam. Bahkan sebagai rakyat kecil pun
kami tak bisa berbuat apa terhadap tindakan pemerintah. Sedang, ancaman hidup adalah
musuh manusia. Jika kami menolak atau melanggar apa yang pimpinan katakan,kami
bisa bahaya. Hajat hidup bisa terganggu dan kami tidak bisa dengan enak makan
atau minum. Kita tahu, makan adalah kebutuhan primer dan kami tidak bisa hidup tanpanya.”
“Ya
ya, saya mengerti. Tapi, mengapa harus menjadi kerbau? Mengapa tidak menjadi
sapi, contohnya, atau yang lainnya?”
“Sesungguhnya,
kami juga belajar bahwa makhluk yang paling rendah hati adalah kerbau. Tak
ingin kami menjadi anjing yang suka menyalak walau kenyataannya sudah banyak
dari kami yang seperti itu. Tak hanya kawan, lawan pun kami telikung. Atau babi,
yang kerjanya hanya makan dan tak pernah peduli bahkan dengan sesamanya sendiri.
Tapi, siapa juga yang ingin jadi makhluk kotor yang rumahnya adalah kubangan lumpur?
Tidak ada! Dengan pikiran yang matang, pada akhirnya kami pun memutuskan untuk
jadi kerbau saja. Sudah banyak dari kami yang menjadi kerbau meski belum
seutuhnya, dan bahkan tanpa pendeklarasian itu.”
“Bagi
kami, tak apalah kami hanya menurut apa kata atasan, pimpinan dan semua yang
memegang peranan penting di roda kehidupan ini. Yang penting, kami,
istri-istri, anak-anak serta keturunan kami bisa makan. Itu saja. Sejatinya
kami ikhlas menjadi kerbau asal bisa tetap hidup.
Mendengar
penjelasan manusia-kerbau itu, keluarga kerbau yang ada di konferensi itu terdiam.
Mereka iba dan kasihan dengan nasib manusia yang tidak berdaya dan tak kuasa
berbuat apa-apa terhadap pekerjaan, keluarga; dengan kata lain, terhadap
hidupnya. Terlebih, mereka juga sadar jika manusia bisa berbuat apa saja
sekehendaknya, serta mendapatkan hasil dari perbuatannya itu. Mereka tahu bahwa
semua yang ada di dunia punya jalannya sendiri-sendiri. Takdir sudah
ditentukan; tinggal waktu yang bakal menjawabnya. [Fim Anugrah]
Subang,
02 Desember 2012