Tidak
ada yang namanya sastra lingkungan, sastra virtual, atau bahkan sastra Islami seperti halnya
yang sempat di gembor-gemborkan dulu. Segala penamaan apa pun atas sastra di
negeri ini, tak lebih dari sekadar intermezo, sebuah euforia sesaat di tengah
kejenuhan alam sastra yang terlebih untuk menemukan bentuknya, untuk
mengembangkannya saja tampak sangat tak kuasa.
Meski begitu, tidak mungkin kita memutar
arah jarum jam, sekalipun pelan dan tetap berjalan meski tak pasti seperti apa
nasibnya. Misi besar membumikan sastra pun seakan tidak lagi menjadi tujuan.
Percis sebuah permainan yang di tengah-tengah permainan dilupakan oleh para
pemainnya. Setiap orang pun tampak iseng sendiri, berjalan masing-masing untuk
memenangkan bahkan kalau perlu mengalahkan pemain yang lain, dan lupa dengan
kebersamaannya.
Blunder, barangkali itulah istilah yang tepat untuk mendeskripsikan
kondisi di atas. Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa sastra kita hanya
berkutat di wilayah itu-itu saja.Terlebih melahirkan sesuatu yang baru yang
bisa menambah warna sastra, menerimanya pun tak sedikit mata kiri yang didapat.
Bahkan, tak sedikit ketakpedulian terhadapnya terbit meski tidak diperlihatkan secara
terang-terangan. Untukmu sastramu, untukku sastraku! Jadi, alih-alih melahirkan
yang baru, mengapresiasi pun masih saja jadi kendala.
Sebut saja sastra Islami atau sastra
religius atau apa pun namanya. Secara praktis sastra yang satu ini patut
diacungkan jempol. Terlepas dari persoalan konsep dasarnya, sastra ini tak
hanya berani memberi warna atas stagnansi dunia sastra, tapi juga memiliki
sifat solutif terhadap kehidupan manusia di tengah kepelikan moralitas bangsa
yang terjadi sekarang ini.
Akan tetapi, belumpun tujuan sastra ini
dicapai, tiba-tiba kritikan terhadapnya sudah lebih cepat disimpulkan. Tak
sedikit cercaan yang menyuratkan betapa sastra ini menjadi sangat banal karena
sifat normatif yang dikandungnya. Karya-karyanya seakan menghukum para
pembacanya dengan ayat-ayat Tuhan. Karya sastra yang hitam dan putih. Oleh
karenanya, tak ada kebebasan bersemayam di dalamnya, seperti tak bebasnya para pembacanya
untuk memilih dan menentukan hidupnya sendiri. Para pembaca seakan tidak bisa
leluas menghirup nafas karena sebelum karya dibaca, mereka sudah tahu seperti
apa ujungnya.
Nama-nama “nenek moyang” pun menjadi alibi yang disebut-sebut, yang
dengan intensitasnya mencoba mencari jejak yang setidaknya bisa mendukung
keberadaan sastra Islami ini. Pengadilan pun berlangsung di setiap lembar media
massa. Banyak yang pro, tapi tak sedikit yang kontra. Tapi yang muncul kemudian
bukanlah solusi, melainkan debat kusir yang tak jelas juntrungannya. Sebagian
merasa dirinya benar dan sebagian lagi menyalahkannya. Nonsense,
begitulah kesimpulannya.
Kenyataan yang ada sekarang, justru
banyak para penulis yang lahir dari kran berlabel sastra Islami ini
memperlihatkan kualitas karya-karyanya. Mereka tumbuh subur dan berkembang.
Malah sebuah prestasi ketika kran-kran itu tak hanya mengocor di negeri ini
tapi di luar sana. Para pemainnya tak hanya pandai ngomong, tapi juga
membuktikan jika karya-karyanya tak sepicis yang orang-orang pikirkan. Air pun
mengalir tak peduli. Panta rei. Setelah kritikan-kritikan yang ditujukan
terhadapnya hilang, sastra ini pun melenggang. Sayang, para pemainnya berjalan
sendiri-sendiri dan dengan tidak bertanggung jawab, meninggalkan kebisingan
dari apa yang dulu diperjuangkannya.
Kiranya hal ini pun sempat dirasakan oleh
sastra yang menyebut dirinya cyber, atau virtual. Seterbatas apa pun media yang
digunakan, sastra ini sempat pula memberi warna sastra kita. Perkembangan
sastra ini lebih cepat dari pada sastra yang ada media lain. Setiap hari setiap
waktu karya-karya, entah itu prosa, puisi, atau kritik, bermunculan di
laman-lamannya. Para penulis pun jadi tak hanya sering menulis dan mengirimkannya
pada situs-situs sastra, tapi secara sadar mereka belajar teknologi. Bergabung
di sebuah milis, menjadi anggota di beberapa situs sastra, dan gabung di forum-forum
diskusi yang bisa meningkatkan apresiasi terhadap sastra. Inilah kualitas hidup
yang mestinya dimiliki oleh para penulis, para sastrawan.
Akan tetapi, lagi-lagi, tak juga sedikit
orang yang tidak suka dengan prestasi yang dicapai oleh situs-situs sastra ini.
Entah apa karena orang-orang itu merasa bahwa dirinya tak bisa bersastra dan
memperlihatkan karya-karyanya, atau merasa bahwa situs-situs itu menjadi
ancaman karena merasa dirinya tak dianggap? Kita tidak tahu. Namun pada
akhirnya, pembajakan (hacking) pun terjadi. Situs-situs sastra yang
kemarin ramai, dalam sekejap mata tiba-tiba sepi. Semua orang gigit jari,
kecuali mereka yang telah dengan sukses menghentikan satu lagi warna sastra
yang sebenarnya bisa turut mengembangkan sastra di negeri ini.
Tapi seperti halnya passion atau
spirit, tak ada satu pun yang bisa mencegah sastra untuk terus berkembang.
Tak apa dan tak pula siapa. Meski beberapa situs-situs sastra telah mangkat,
jejaring sosial, blog, dan situs-situs gratis selanjutnya banyak bermunculan.
Yang mengagetkan adalah, kuantitasnya yang melonjak dari pada sebelumnya. Dari
mulai penggiat sastra hingga orang yang baru terjun di dunia sastra, tumpah
ruah memposting karya-karyanya. Tak perlulah sungguh kita menilai sejauhmana
kualitasnya, dengan kuantitasnya yang banyak saja kita sudah bersyukur.
Ternyata, sampai sekarang masih banyak orang yang suka dengan sastra. Itu yang
mestinya terlebih dulu diamini. Sastra virtual pun memiliki perannya sendiri
selain sastra aktual yang masih terus dengan lurus berjalan dan tampak di media
massa (surat kabar), bahkan lebih instens lagi. Terkait sastra bergenre
kelamin, kita sudah tahu sendiri seperti apa kondisinya sekarang.
Meski begitu, tak berarti tak ada
penyakit di tubuh sastra kita ini. Penyakit yang mengganggu pertumbuh-kembangan
sastra sampai-sampai susah untuk beranjak dewasa, sebagaimana oknum para pemain
di dalamnya. Tapi seperti halnya sastra di dunia barat atau di negeri seberang
sana, sastra tumbuh dengan suburnya. Para pemainnya bebas berekspresi dan
berpendapat, tentunya, dengan batas-batas etika. Mereka bebas menamai terserah
apa nama sastranya. Bahkan genre sastra pun diklasifikasikan begitu rupa,
semisal puisi atau cerpen tentang binatang, tentang persahabatan, tentang alam,
dan lain sebagainya.
Mereka tak segan-segan membuat nama atau
istilah baru untuk karya sastra yang memang belum ada duanya. Maka, tak aneh
jika sastra di sana benar-benar memiliki kontribusi besar terhadap bahasanya.
Jadi, bukan tidak mungkin mengapa bahasa kita tidak pernah berkembang karena
sastra sebagai salah satu bentuk pengejawantahannya pun belum bisa legowo
menerima segala bentuk perbedaan. Selain itu, para sastrawan di sana pun tetap belajar.
Sastra tak hanya melulu soal kata, genre, diskusi, membaca, menulis,
koran, dan lain sebagainya. Kata kunci yang hanya berputar-putar di situ-situ
saja.
Tidakkah menarik seeandainya kita
mendengar seminar atau workshop berjudul, misalnya, “Sastra di Tengah Arus
Informasi dan Teknologi,” atau “Melejitkan Karya Sastra dengan Marketing
yang Sempurna,” atau ”Pelatihan Penulisan Sastra Berbasis SEO, ”
atau “Bikin Launcing Jadi Kenangan: Life Skill Event Orginazer Khusus
Penulis,” “Menjadi Penulis yang Kaffah,” dan lain sebagainya.
Tidakkah menarik seandainya sebuah peluncuran mobil keluaran anyar dibuka
dengan pembacaan puisi, seperti di dataran Eropa sana?”
Karya sastra di luar sana bisa berkembang
seperti halnya para pemainnya karena mereka bisa menyembuhkan penyakitnya
bersama-sama. Maksudnya, perbedaan pendapat itu biasa, malah harus ada. Jika tidak,
tidak ada dinamika, tidak ada apresiasi yang sebenarnya, meski tidak berarti
juga bisa dengan seenaknya berbicara, apalagi hanya bisa merendahkan karya
terlebih penulisnya. Sebuah karya baru muncul, bukannya ditanggapi dengan
bijak, ini malah disitir begitu rupa. Habis suara kita berkoar-koar soal
demokrasi. Kenyataannya, apakah benar demokrasi sudah berjalan di wilaya sastra
kita? Disebut normatiflah, disebut tidak efektiflah, disebut pornolah, dan
lah-lah lainnya.
Salah satu akibatnya, kritik sastra pun
jadi korban. Para penulis jadi takut menulis kritik karena pasti bakal ada yang
“membantainya.” Sekalinya ada yang “membantai,” yang muncul malah jadi debat
kusir, atau perang urat syaraf. Benarkah orang bisa benar-benar menerima
kritik, terlebih jika kritiknya pedas ? Sekali-sekali tidak! Setidaknya
kenyataan memperlihatkan, jikapun ada kritik sastra yang dimuat di media,
kritik itu tak lantas benar-benar diperhatikan. Ada sastrawan yang membahas
soal sastra dan lingkungan, soal sastra dan kelamin, bahkan ada juga soal ide
memperiodesasikan sastra yang ada abad 20 ini. Tak ada tanggapan, karena, ya
itu tadi: aku ya aku, kau ya kau, dan ini tidaklah sehat. Yang tampak bukanlah
dinamika sastra apalgi perkembangan sastra, melainkan ketidakpedulian. Intinya,
setiap orang berjalan sendiri-sendiri, dengan karya sastranya sendiri. Padahal,
bukankah kata yang menyatukan “bahasa” kita, sastra kita?
Tapi selain itu, entah karena merasa
memiliki kesamaan yang benar-benar sama, pada akhirnya beberapa di antara mereka
bergabung dengan warna sastra yang dimilikinya sendiri. Lama kelamaan, ketika
mereka sudah subur bersama kaumnya yang sevisi dan semisi itu, salah kaprah pun
muncul. Yang lebih aneh, orang-orang di luarnya yang justru malah ikut-ikutan
membenarkan apa yang mereka lakukan. Apa mungkin kita tidak pernah kita belajar
dari sejarah, dari apa yang nenek moyang kita lakukan ihwal ini? Bagaimanapun,
ketika sastra diinstitusikan, maka yang muncul bukanlah keberterimaan dalam
keberagaman sesungguhnya, akan tetapi kepentingan. Dan ketika kepentingan sudah
sangat akut untuk ditunaikan, maka yang tersisa adalah suara minoritas.
Pengakuan pada sebagian dan penyisihan pada sebagian yang lainnya. Dan
lagipula, siapa juga mengultuskan bahwa institusi sastra yang satu lebih bagus
dan berkualitas ketimbang institusi sastra yang lainnya?
Pertanyaan pun muncul: Benarkah apresiasi
yang terhampar di tubuh sastra kita? Benarkah penghargaan atas perbedaan
pendapat berlangsung di sini? Dengan kata lain, benarkah demokrasi sudah
ditegakan di dunia sastra di negeri ini? Bukannya jawaban yang didapat melainkan
kebingungan dan kegalauan. Tujuan yang berdiri di ujung sana menunggu kita
semua.
Meratapi keadaan seperti ini, kita pun
memandang lagi wajah para sastrawan kita yang sudah tidur dalam kubur. Kita
bernostalgia dengan mereka sampai akhirnya inspirasi pun datang. Sekali lagi,
kita menyebut nama mereka di setiap tulisan kita, seakan tak ada habisnya. Kita
iyakan pendapatnya, kita ikuti tingkah lakunya. Dengan kata lain, pikiran kita
ternyata bukan pikiran kita sebenarnya, tapi pikiran para nenek moyang kita
itu. Mau sampai kapan kita menyebut-nyebut terus mereka, mengutip, mengiyakan,
dan menghambakannya? Kapankah kita bisa menyebut nama kita sendiri di dunia
sastra ini, sekarang?
Selama pikiran ini tidak bebas alias terpenjara
dalam alam pikiran lama, maka selama itu pula sastra kita hanya sebatas
celetukan-celetukan iseng di tengah hingar bingar semaraknya dunia. Sastra
musiman. Sampai kapanpun, sastra kita akan tetap seperti ini jika pikiran yang
ada tak jauh bedanya dengan yang sebelumnya. Adalah adat dan tradisi yang
menghambat segalanya, juga taklid buta atas penilaian yang dilakukan dari satu
sudut pandang saja. Mungkinka alam sastra kita bisa berkembang jika pikirannya saja
masih sakit? Tidaklah mungkin jika kita harus kembali ke titik awal,
menerjemahkan apa sastra kita sesungguhnya, terlebih jika kita harus menerjemahkan
kata “sastra” itu sendiri. Itu namanya buang-buang waktu dan percuma.
Jika sudah seperti itu, hanya ada satu
kata: Terserah! (Fim Anugrah/”Saswaloka”)
No comments:
Post a Comment