Sudah
hampir sepuluh tahun ini wanita bisu itu duduk di beranda. Setiap sore hari, beberapa
menit sebelum jam menunjukkan pukul lima, dia akan tampak keluar dari rumahnya lantas
duduk di kursi kayu. Ditemani keremangan senja dari ufuk Barat yang menyala
merah, dia mulai menulis menggunakan pensil kata demi kata yang masih
diingatnya.
Kata-kata
itu bukanlah rangkaian sebuah kalimat apa lagi paragraf, melainkan tak lebih
dari daftar kata percis daftar belanjaan. Jika kau tahu apa yang ditulisnya,
mungkin kau akan heran sendiri. Bahkan bukan tak mungkin kau akan berkata betapa
kurang kerjaannya wanita itu. Tapi, punya hak apa aku menghakimimu? Lebih baik,
kau dengarkan dulu saja ceritaku.
Wanita
bisu itu bernama Ipah. Tak ada yang tahu berapa usianya sekarang. Yang aku
tahu, rambutnya sudah beruban dan tipis. Kulit di tubuhnya pun sudah kehilangan
kekencangannya. Kecantikan telah menjadi istilah yang tak lagi ada di dalam
kamus hidupnya. Maka dari itu orang-orang, termasuk juga aku, memanggilnya
Nenek. Nek Ipah.
Nek
Ipah tinggal sendiri di rumah berdindingkan tembok. Suaminya telah lama tiada
oleh sebab penyakit diabetes yang dideritanya. Akan tetapi, setiap satu minggu
sekali ada kalanya anak-anaknya berkunjung. Mereka datang membawa oleh-oleh
dari kota bersama istri atau suami dan anak-anaknya.
“Nek,
aku bawa bolu brownies dari kota,” kata anak pertama.
“Nek,
aku bawa Pizza Hut, makanan khas Amerika,” kata anak kedua.
“Nek,
aku bawa baju berbahan sutera dan kerudung buatan Palestina,” kata anak ketiga.
“Nek,
aku bawa televisi dan DVD Player plus
kaset qosidah dan ceramah dari Kiai Sejuta Umat biar Nenek tidak kesepian. Oya,
kenalkan, ini Amar, temanku,” kata anak keempat.
Semuanya
datang bergiliran setiap minggunya, dan semuanya pula membawa oleh-oleh semata
agar bisa menyenangkan hati Nenek. Tapi, semua pemberian itu hanya dibalasnya
dengan senyuman belaka. Senyuman yang secepat dia melengkung di lesung pipitnya,
secepat itu pula hilang dan berganti
wajah penuh derita dan beban. Setidaknya, itulah yang diceritakan Bayu, anaknya
yang keempat, padaku saat kali pertama aku mengunjungi rumah Nenek.
Menghadapi
sikap Nenek, semuanya seolah sudah paham—bahwa sebanyak dan semahal apa pun oleh-oleh
mereka bahwa, hal itu takkan membuat Nenek bisa membuka mulutnya.
Awalnya
aku sendiri heran: Apakah ibu temanku ini bisu? Pasalnya, ketika aku
mengenalkan diri saja, balasan yang aku dapat tak lebih dari sekadar senyuman.
“Jawab
dong, Bu, kalau orang mengucapkan salam itu,” belas Bayu ketika mengenalkan aku
pertama kali pada ibunya. Alih-alih dijawab, Nenek justru memalingkan
tatapannya dariku lantas memandang anaknya itu. Tidak dengan tatapan yang tajam
melainkan lembut. Tapi di balik kelembutan itu, sesuatu yang tersirat tajam
seolah berkata “Diam kau!” atau “Punya hak apa kau menyuruh-nyuruh aku untuk
bicara?” Dan temanku yang satu ini, anak dari wanita bisu itu pun tertunduk
malu kehilangan wajahnya. Hanya saja kemudian, secepat “tamparan” tatapan dari
ibunya itu, Bayu menyampaikan maafnya padaku.
Begitulah
Nenek yang aku tahu. Wanita yang memilih untuk bisu dan membahasakan alam
semesta dengan hanya sebatas keheningan. Di rumah yang terletak di ujung sebuah
kampung di kaki bukit ini, selain suara alam yang tersisa dan pabrik, takkan
pernah kau dengar suara Nenek Ipah.
Awalnya
aku tak terlalu menghiraukan masalah itu. Tapi, sesering aku bermain ke rumah Nenek,
lambat-laun rasa kepenasaranku pun muncul.
“Sebelumnya,
Bay, aku minta maaf kalau pertanyaan yang bakal aku tanyakan ini bakal
menyinggungmu,” kataku mengawali percakapan di pinggir danau setelah aku
melempar kailku jauh ke tengah. Oya, di kampung ini, memang ada sebuah danau
sekira satu kilo jaraknya dari rumah Nenek.
“Formal
banget sih Lo kalau ngomong,” dagunya yang tajam menunjukku.
“Lo
juga sok kota banget sih pake bahasa,” timpalku tak ingin kalah.
“Alah,
lagak Lo. Ngomong aja!” memalingkan wajah lantas melempar kail lebih jauh
dariku.
“Nenek
Lo itu... bisu, atau...” kalimatku tak sempurna.
Bukannya
dijawab, Bayu malah menundukkan kepalanya. Tapi itu tak lama. Dia mulai menarik
napas panjang sebelum pada akhirnya bercerita.
“Sebenarnya
Emak gua ga bisu, Mar,” mengisap rokok di kempit jemarinya lantas menghamburkan
asapnya ke udara; keningku mengernyit membuat lipatan tebal.
“Emak
gua bisa ngomong,” kepalanya mengangguk-angguk, “tapi itu dulu. Ya, sepuluh tahun
yang lalu-lah.”
“Memang,
apa masalahnya?” kusorong sebatang rokok di dekat kakiku.
“Masalahnya
adalah Kakak gue yang pertama, Si Jaka,” beberapa kali Bayu mengisap asap
rokoknya sebelum mematikannya. Lantas mengambilnya lagi sebatang dan mulai
menyalakan lighter membakarnya.
“Dulu
Kakak gue maksa kalau ibu harus menjual tanah. Lo tau kebon di seberang rumah yang
di depan jalan?”
Aku
mengangguk.
“Dulu,
tanah itu kebon warisan Bapak. Kebon paling luas dan paling hebat di kampung
ini,” senyum tersungging di pipinya—bangga.
“Hebat?
Maksud Lo?”
“Bagaimana
gak hebat? Kebon itu punya banyak cerita, Bro. Gak hanya di kebon itu banyak
pohon, termasuk pohon langka yang sekarang sudah gak ada. Di situ juga ada
tanah lapang tempat anak-anak kampung ini bermain, termasuk gue. Main bola, panjat
pinang setiap tujuhbelasan, ngangon sapi
atau domba. Wah, pokoknya banyaklah ceritanya. Gak bakalan beres kalau gua
mesti cerita seharian.”
Aku
mengangguk-angguk mencoba untuk paham.
“Tapi,
suatu hari ada orang kota datang. Beberapa orang. Mereka datang pake mobil blazer ke ujung kampung ini nyusurin
jalan berbatu itu.
“Orang
kota?”
“Hmm,”
menghirup kopi dingin dengan tangannya yang basah setelah menarik pancingan
yang kosong tanpa ikan.
“Bilang
gue salah kalau orang kota itu nyari tanah buat bikin pabrik?”
“Gak.
Lo bener. Banget malah,” puntung rokok dilemparnya ke arah belakang; aku
mereguk kopi yang hampir tinggal ampas di gelasku.
“Terus?”
“Karena
hanya ibu gue yang punya tanah di kampung ini—oya, asal Lo tahu, itu terjadi
sebelum pemerintah ngakuisisi tanah
di kampung ini sebagai milik mereka—ya, orang-orang kota itu dateng ke ibu gua.
Mereka ngebujuk ibu supaya ibu mau ngejual tanahnya ke mereka. Tapi, ibu ga
ngasih. Itu amanat bapak sebelum bapak meninggal. Bapak bilang, ‘Apa pun yang
bakal terjadi, jangan sampai ibu ngejual tanah. Itu warisan kita. Hanya itu
yang kita punya.’”
“Strike!” ditariknya mata kail yang
ternyata hanya sampah plastik, “berengsek!”
Kubenaih
posisi duduk setelah menarik kail yang tak jauh beda dengan sobatku yang satu
ini.
“Lo
tau, kan, manusia bakal ngelakuin apa saja agar dia mendapatkan keinginannya?”
Aku
menggumam.
“Berdirinya
pabrik artinya mengalirnya duit. Dan, ya, begitulah. orang-orang kota yang
sebenarnya ga lebih dari ajudan orang luar negeri itu pun ngelakuin apa aja. Termasuk
ngedeketin kakak gue. Ya, singkat cerita. Kakak gue ngiler liat duit sekoper, and dijuallah tanah kebon itu. Ada
untung dan ruginya juga, tentu. Untungnya, kakak-kakak dan gue bisa seklolah
bahkan kuliah di ibukota. Rumah panggung pun berubah jadi bagus. Ruginya, sejak
saat itu,” menekan ‘sejak’, “ibu ga lagi ngomong. Ga sepatah kata pun!”
Pilu
aku mendengar cerita Bayu. Tapi tak lebih pilu lagi ketika aku mendengar bahwa
ketika rumah tembok barunya itu selesai dibangun, Nenek tak pernah sudi
memasukinya. Dia memilih tidur di jalan ketimbang tidur di dalam rumah. Tapi,
wanita tua mana yang kuat panas dan hujan? Sempat memang beberapa tetangga
meminta Nenek untuk tinggal di rumah mereka. Tapi tetap, Nenek tak mau. Terlebih
ketika Nenek menjawab ajak mereka dengan mengacungkan sebilah golok. Hampir
Nenek disebut orang gila. Tapi, bersyukur, para tetangga mengerti sikap Nenek.
Hingga suatu hari, tak sampai hitungan bulan, Nenek jatuh sakit di tepi jalan
dan Bayu, kakak-kakaknya juga para tetangga membopongnya masuk ke dalam rumah.
Mereka
pikir Nenek bakal berteriak atau menebas leher salah satu dari merak. Tapi yang
terjadi? Nenek justru menangis. Menangis sejadi-jadinya. Dan sehari setelah
itu, Nenek pun memiliki kebiasaan baru: Dia akan duduk berlama-lama di kursi di
depan rumahnya.
“Lo
tau, Mar,” tiba-tiba Bayu memulai tanpa aku minta, suatu hari di waktu yang
lain. “Sebenarnya gue pernah liat ibu ngomong.”
“Kapan?”
“Dulu,
ketika ada mahasiswa perguruan tinggi KKN di kecamatan ini. Gue seneng banget
tahu kalau Emak ngomong. Tapi, sayang, Emak hanya ngomong sama mahasiswa itu
saja. Yang gue tahu, nama mahasiswa itu, Rahmat. Pas gue tanya ibu ngomong apa,
dia bilang kalau ibu ingin diajarin baca sama nulis.”
Aku
heran segila-gilanya. Mungkinkah Nenek yang sudah tua itu bisa baca-tulis?
“Gue
tahu yang Lo pikiran, Mar. Ya, gue juga mikirnya begitu. Gak mungkin ibu gua yang
sudah tua bisa belajar baca-tulis. Tapi, nyatanya? Selain dapur dan halaman,
sekarang ibu punya teman baru: buku tulis dan pensil.”
Sepuluh
tahun terakhir setelah lima tahun setelahnya, dan untuk pertama kali aku main
ke rumah itu, aku mendapati Nenek dengan kebiasaannya. Setiap sore Nenek akan
menulis menggunakan pensil di buku tulis yang dibelinya di warungku. Ya, pada
akhirnya, aku pun menjadi bagian dari kampung ini. Kampung yang di sekeliling
danaunya berdiri pabrik-pabrik tekstil yang suaranya tak henti bergemuruh dari
waktu ke waktu.
Sekalipun
begitu, aku tahu suara itu tak lantas bisa mengalahkan nyanyian bisu Nenek. Begitulah
ketika suatu hari, ketika Nenek dengan tak sengaja meninggalkan bukunya di
etalase warungku, kulihat daftar kata-kata itu dengan nomor tersusun di
sampingnya, menurun ke bawah. Kata-kata bertuliskan: jelatang, kecapi, sawo, bidara,
tanduk rusa, komodo, puyuh, mencek, bungbang, remis, udang, dan lain
sebagainya.
Aku
terkejut ketika di halaman terakhir Nenek menuliskan sebuah kata dengan
huruf-hurufnya yang besar dan tampak kacau. Kata itu bertuliskan: Manusia!***
Purwakarta,
25 April 2016