Sebagai salah satu bentuk kebudayan, musik/lagu seakan telah
mendarah daging dalam diri manusia. Ia tumbuh, hidup dan bahkan mati bersama
kita.
Akan tetapi sejauhmana musik/lagu benar-benar
berpengaruh terhadap diri seseorang? Hal ini tentu ditengarai dari bagaimana
perkenalan dia dengan musik/lagu dan bagaimana dia bisa “menghidupi” yang
disukainya itu. Suka (?)
Seperti halnya keinginan atau
kebutuhan, kesukaan seseorang terhadap musik/lagu bisa jadi tak ada habisnya.
Sejauh manusia hidup di muka bumi, sejauh itu pula musik/lagu takkan habis
dicari, didengarkan, dicerna dan sebagainya, tentu dalam kacamata sebagai penikmat;
karena selama itu pula musik akan terus berlahiran dari tangan penciptanya, didendangkan
oleh para penyanyinya.
Permasalahannya sekarang adalah,
mungkinkah kesukaan seseorang terhadap lagu/ musik akan sama dan setara dengan
apa yang disukai orang lain—setidaknya untuk genre tertentu saja? Orang mungkin akan
lebih suka dengan Nirvana ketimbang Alice In Chains, lebih suka
dengan L’Arc~en~Ciel ketimbang MUCC, bahkan bisa jadi ada yang lebih
suka Bungsu Bandung ketimbang Darso bahkan Rhoma Irama ketimbang
Inul sekalipun.
Fenomana ini ternyata memicu satu atau
sekelompok orang dengan atau tanpa sekonyong-konyong menggulirkan peringkat
terhadap lagu/musik termasuk pelantunnya. Dengan kata lain, mereka membuat
daftar band atau lagu terbaik sebagaimana yang kebanyakan tampak di begitu
banyak situs. “100 Greatest Jazz of All Time,” “50 Lagu Terbaik Sepanang
Masa,” “10 Band Jepang Terbaik,” malah sampai ada juga yang membuat
daftar “Lagu yang Harus Didengarkan Sebelum Kamu Mati” segala. Begitulah
judul-judul itu mengisi laman-laman situs dan halaman majalah. Ah, Anda bisa menemukan
seabreg judu-judul senada lewat mesin pencari milik Mbah Gugel.
Akan tetapi, kembali ke pertanyaan sebelumnya:
Mungkinkah kita membuat daftar-daftar semacam itu? Kenyataannya, acapkali tak
sedikit orang-orang kontra dengan daftar band atawa lagu terbaik yang diposting
sebuah situs di lamannya. Bahkan tak sedikit mencak-mencak bahkan perang urat
syarat hanya karena band/lagu favoritnya tak ada dalan daftar yang dibacanya. Inilah
masalahnya!
Sungguh hal yang menyedihkan karena
kenyataannya, kita, siapapun, tidak bisa sungguh membuat daftar band/lagu terbaik
semacam itu. Apalagi mengultimatum bahwa daftarnya itu lebih baik, valid atau yang
terbaik yang pernah ada. Ada beberapa ALASAN MENGAPA KITA TAK BISA MEMBUAT BAND
ATAWA LAGU FAVORIT DALAM SEBUAH DAFTAR.
Pertama, Beda Generasi. Tak bisa
dinafikkan bahwa kita, saat ini, hidup di antara generasi yang berbeda. Generasi
lawas tahun 70-an, misalnya, punya lagunya sendiri. Pun dengan generasi 80 atau
90-an dan generasi selanjutnya. Generasi lawas tak mungkin memaksakan diri
untuk menyukai lagu-lagu modern model ajeb-ajeb, pun sebaliknya. Zaman dan
lingkungan mempengaruhi setiap orang, dan musik adalah satu satu dari yang
mempengaruhi itu.
Kalaupun ada generasi lawas yang suka
dengan lagu-lagu modern abad 21, mungkin kita bisa menyebut jika orang itu gaul
atau open-minded dan open-hearted, apa pun kepentingannya. Artinya,
dia ikut perkembangan. Tapi jika ada generasi milenium tiba-tiba menyukai
lagu-lagu lama, apa tidak nanti justru malah dipanggil tua, kuno atau
ketinggalan zaman? Kalaupun harus memaksakan diri membuat daftar, maka daftar
itu bisa jadi berlaku di satu generasi tapi tidak berlaku di generasi yang
lain. Tidakkah aneh seandainya ada orang yang membuat daftar band terbaik
Indonesia dengan memasukkan Noah, Sheila On 7, Padi, Boomerang bersama-sama Elpamas, God Bless, Koes
Plus dan Panbers dalam daftar yang sama? Jika hanya daftar mungkin tidak masalah.
Tapi jika harus memberi rangking siapa yang paling bagus, bukan tidak mungkin hal
ini malah menimbulkan perdebatan. “Memang Panbers sama Pantovel apa hubungannya?”
tanya anak muda yang suka memutar lagu-lagu D’Masiv.
Kedua, Beda Taste Alias Rasa.
Bayangkan seorang kelahiran 60/70-an yang terbiasa mendengar lagu dengan kualitas
suara musik yang “orisinil”, terdengar oleh kita seakan kasar atau mentah atau beledak-beleduk,
tiba-tiba harus mendengar lagu semisal Idioteque-nya Radiohead.
Alih-alih mendengarkan, orang itu mungkin mematikan pemutar musiknya sambil
berkata: “Musik kok kayak takbiran!” Lalu, apa bedanya dengan mereka yang
kelahiran 90-an atau 2000-an dan harus mendengarkan lagu-lagu tahun 60 atau
70-an? Hidup itu maju, seperti juga teknologi. Dan teknologi sebuah musik/lagu juga
sangat mempengaruhi telinga yang mendengarnya, tergantung generasinya.
Satu yang harus dicamkan bahwa manusia
dibentuk oleh lingkungannya dan lingkungan akan memengaruhi bagaimana dia merasakan
sesuatu. Seseorang yang terbiasa mendengar musik Indonesia atau Dangdut seumur
hidupnya, mungkin akan menutup telinga ketika harus mendengarkan musik, semisal,
Linkin Park, System of A Down atau Tokyo Jihen sambil
berkata: Musik naon sih ieu teh? Teu puguh pisan! Ganti ganti ganti!” Nah,
apa bedanya dengan anak-anak zaman sekarang yang, kalaupun harus dipaksa,
mendengarkan lagu-lagu jadul semisal The Beatles, Yutaka Ozaki, atau Pance
Pondaaq? Belum lagi masalah latar belakang dan pendidikan, dua hal ini saja sangat
berpengaruh juga terhadap penerimaam musik yang disukai dan dinikmati
seseorang.
Ketiga, Telinga Hanya Dua. Tuhan
memberi dua telinga agar kita lebih banyak mendengar. Akan tetapi urusan musik,
adakah seseorang sudah mendengar begitu banyak musik seumur hidupnya,
setidaknya ketika dia hidup di generasinya sendiri? Kenyataannya, bahkan,
seseorang yang, misal, hidup di generasi tahun 90-an mungkin hanya mendengar beberapa lagu saja, itu pun yang populer.
Seseorang mungkin mendengar Bintang-nya
Air, atau Pernah Mencoba-nya Dr. PM, atau Bukan Pujangga-nya Base
Jam, atau Sweet Child O’ Mine-nya Guns & Roses, atau Enter
Sandman-nya Metallica, dan banyak lagi. Tapi apakah dia benar-benar
mendengarkan semua lagu-lagu di albumnya itu. Mungkin ada. Tapi, tetap saja
telinga hanya dua, dan tidak semua musik bisa didengarkan semuanya, entah itu
lagu Indonesia atau Barat; belum lagi menyebut lagu-lagu yang ada di negara
lain.
Terlebih kita yang hanya manusia awam, yang
kadar kapasitasnya sebagian besar hanya sebagai penikmat dan bukan pecinta, Ahmad
Dani yang katanya musisi dan sempat menjadi juri di, sebutlah, Indonesian
Idol saja sempat geleng-geleng ketika salah satu pesertanya mau menyanyikan
lagu, yang ternyata dia tidak pernah dengar. Padahal, lagu itu lagu zaman
sekarang. Bedanya ia dinyanyikan oleh orang Barat sana. Musisi gitu loh? Yang
hidupnya tumbuh bersama musik/lagu setiap detiknya? Apa lagi kita?
Bagaimanapun, apa yang seseorang dengar
belum tentu sama dengan yang orang lain dengar, begitu juga sebaliknya. Maka
dari itu, alasan ini juga yang membuat mengapa seseorang tak bisa membuat
daftar lagu terbaik, karena pertanyaan kembali: Seumur hidup berapa banyak lagu
yang sudah kita dengar? Apakah kita sudah benar-benar mendengar semua lagu? Sekali
lagi, apakah kita sudah benar-benar mendengar semua lagu?
Keempat, Hanya Ada Satu Televisi dan
Banyak Radio. Kita harus menyadari bahwa kenyataan mengatakan bahwa di
negeri tercinta ini kita hanya punya satu stasiun televisi. Stasiun TV yang tidak
lagi memutarkan lagu-lagu, terkecuali alasan komersil. Dulu kita bisa tahu
lagu-lagu baru di program Delta atau Clear Top Ten, 100% Ampuh (Ajang Musik
Pribumi Sepuluh). Sekarang? Janganlah sebut program-program musik yang sekarang
marak di stasiun-stasiun TV itu. Itu bukan program musik! Itu hanya penghias
saja dengan para figuran sebagai cheerleader-nya. Jadi, tidak usahlah
menyebut apakah mereka punya daftar musik berkualitas atau tidak. Karena musik
yang kemarin direkam di studio, hari ini diputar di TV, besoknya sudah hilang
entah ke mana. Sad but true, tapi begitulah kalau kreativitas
dikomersilkan. Sebagian punya idealisme, tapi lebih banyak lagi yang “materialisme”.
Akan tetapi kita pun harus senang bahwa
ternyata kita masih punya banyak stasiun radio yang memiliki programnya
masing-masing. Program-program musik dengan berbagai genre-nya yang memanjakan
para pendengarnya. Pagi bagian musik up-to-date, siang bagian musik dangdut,
sore bagian musik lawas, malamnya musik mellow. Tak hanya itu, setiap radio pun
punya program musik unggulan. Ada yang memutar Jazz saja, Blues saja, Reggae
saja, Dangdut saja dan banyak saja-saja yang lainnya. Kenyataan ini membuktikan
bahwa kita makin bingung untuk membuat daftar lagu terbaik, karena setiap
stasiun punya versinya masing-masing. Memaksakan kehendak? Itu jelas bukan
demokrasi. Tapi bagaimanapun, tetap, kita harus bersyukur bahwa kita punya
radio. Setidaknya hanya media ini yang tetap setia memutar lagu-lagu. Lain
tidak!
Kelima, Tanpa Alasan. Tak ada
alasan mengapa tulisan ini hanya menyuguhkan lima (baca: empat) alasan mengapa kita tidak bisa membuat grup band atawa penyanyi atawa lagu
favorit dalam sebuah daftar. Karena sesungguhnya, begitu banyak alasan lain
mengapa kita bisa melakukan hal itu. Poin satu sampai empat bisa jadi alasannya.
Selebihnya, bisa jadi pertimbangan genre musiknya, bisa jadi pengaruh musik/lagu
itu terhadap masyarakat pendengarnya, bisa jadi aksesibilitas yang mengekspos
musik/lagu itu sendiri, bisa jadi hal-hal politis lainnya semisal label mayor
atau indie, dan lain sebagainya. Pokoknya bisa-bisa saja.
Satu yang pasti, tak ada rumus apakah
sebuah lagu/musik itu bagus atau tidak. Semua tergantung opini orang per orang,
yang tentu saja subjektif. Setidaknya musik/lagu akan terus ada, lahir, tumbuh
dan berkembang tanpa batas ruang dan waktu, sejauh manusia tetap menciptanya, sejauh
manusia mengapresiasinya. Setidaknya, itu sudah lebih dari cukup untuk berkata
bahwa musik ada di antara kita dan di dalam tubuh kita, menghibur kita manusia yang
pejalan sebelum “musik sejati” pada akhirnya menjemput. (Fim Anugrah/”Saswaloka”)