Menjadi minoritas memang tak menyenangkan, bahkan bisa jadi
menyebalkan. Luput dari pengamatan, jauh dari popularitas dan tak menutup
kemungkinan untuk direndahkan. Dari sudut kacamata “normal” pandangan semacam
ini mungkin muncul. Dari dari sudut pandang kaum minoritas sendiri, siapa
peduli?
Tak ada habisnya jika kita terus membandingkan
sesuatu dari kacamata yang berbeda dengan ukuran yang macam-macam. Lagi pula,
ukuran normal adalah ukuran manusia. Sesuatu bisa jadi normal tergantung pada
apa dan seperti apa sesuatu itu dipandang. Tapi yang lebih hebat adalah
bagaimana “ketidaknormalan” itu luluh-lanak tatkala ia dikemas lewat hasil karya
budaya manusia yang mendobrak pandangan mengenai ukuran itu. Selain musik dan
sastra, film adalah salah satunya.
Tidak bisa tidak, manusia
sekarang memang terbawa sekaligus digiring oleh arus populritas dan tren tiga
bentuk karya budaya yang sifatnya universal ini. Lewat sastra kita bisa
mengenal budaya manusia tanpa menjadikan suku dan bangsa sebagai batasannya.
Demikian halnya juga nada dari lantunan musik dan lagu. Tak peduli apakah kita
mengerti bahasa liriknya, sebuah lagu jika musiknya ciamik punya kemampuan
untuk menyihir pendengarnya.