Oleh Firman Nugraha*
Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Derajat
tinggi ini langsung diberikan Allah Swt, manusia memiliki hak istimewa untuk
mengelola bumi demi kelangsungan hidupnya. Status kekhalifahan ini menyiratkan
kepercayaan penuh atas manusia sebagai hamba-Nya untuk mempergunakan alam,
sekaligus menjadi bagian darinya.
Status kekhalifaan manusia bukannya tanpa masalah. Selain
sebagai sebuah penisbataan kekuasaan Allah akan ciptaannya, terdapat di
dalamnya pandangan yang acapkali diartikan sebagai hak prerogatif manusia atas
kuasanya di dunia yakni, pandangan ekologis. Tetapi, belum sampai pemahamannya
diterang-jelaskan dengan utuh, kenyataan penafsiran akan status tersebut malah
jatuh merosot jauh dari hakikat yang sebenarnya.
Ekoteologi
Penciptaan
Sejatinya, status kekhalifahan memunculkan sedikitnya dua
ambiguitas. Pertama, ia membuat manusia memiliki kehendak bebas dalam
penyelenggaraan hidup. Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia
memanfaatkan alam untuk kebutuhannya. Atas nama hidup, manusia membabat dan
membakar hutan serta menanam bahan pokok sebagai sumber pangannya. Manusia juga
membuat berhektar-hektar sawah dan ladang untuk ditanami padi, ketela pohon
bahkan kelapa sawit.Pengetahuan dengan teknologi yang datang kemudian pun
memudahkan prosesnya.